Selasa, 03 Februari 2015

Yayu Lestari (Dongeng Tampe Ruma Sani versi ubahan)


TAMPE RUMA SANI


Cerita ini berasal dari Dompu, salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Barat.
Alkisah pada zaman dulu, tinggallah seorang anak perempuan bernama Tampe Ruma Sani. Semua orang di kampungnya mengenal dia, sebab setiap hari ia menjajakan ikan hasil tangkapan ayahnya. Ibunya sudah meninggal. Di rumahnya ia tinggal bersama ayah dan adik laki-lakinya yang masih kecil. Ia memasak nasi untuk ayah dan adiknya. Kasihan Tampe Ruma Sani yang masih kecil itu harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa.
Pada suatu hari, seorang janda menyapa Tampe Ruma Sani, “Sudah habis ikanmu Nak? Tiap hari saya lihat ikanmu cepat habis, apa rahasianya?”
“Saya menjual lebih murah dari yang lain, agar cepat habis, karena saya harus segera pulang menanak nasi untuk ayah dan adik saya. Juga pekerjaan rumah tangga yang lain harus saya kerjakan”, jawab Tampe Rurna Sani sambil berjalan cepat.
“Siapa nama adikmu?”
“Mahama Laga Ligo”, jawab Tampe Rurna Sani. “Mengapa bukan adikmu yang memasak?”
“Adikku masih kecil, belum bisa memasak.” Bermacam-macam pertanyaan janda itu kepada Tampe Ruma Sani.
“Sampaikan salamku kepada ayahmu! Aku mau membantu kalian dan tinggal di rumah ayahmu. Aku mau membuat tembe (sarung), sambolo (destar) dan ro sarowa (celana) untuk ayahmu”, kata janda itu dengan manis.
“Baik Bu, akan saya sampaikan kepada ayah.” Singkat cerita janda itu kini telah kawin dengan ayah mereka, dan menjadi ibu tirinya. Kini Tampe Ruma Sani tidak lagi memasak. Pekerjaannya hanya menjajakan ikan saja. Sekali-sekali ikut menumbuk padi. Setiap menumbuk padi, ibunya selalu berpesan agar beras yang utuh dipisahkan dengan yang hancur.
Pada mulanya, ibu tirinya sangat baik kepada Tampe Ruma Sani dan adiknya. Namun, lama-kelamaan sikapnya berubah. Tampe Ruma Sani dan Mahama Laga Ligo mendapat perlakuan yang kurang baik, lebih-lebih kalau ayahnya tidak berada di rumah.
Pada suatu hari, ayahnya baru pulang menangkap ikan. Sang ibu tiri segera menyiapkan makanan yang enak-enak untuknya. Sedang untuk anak tirinya disediakan nasi menir (nasi dari beras yang hancur kecil-kecil). Melihat hal itu, Tampe Ruma Sani memberanikan diri lapor kepada ayahnya, “Ayah dan ibu makan nasi yang bagus dan ikannya yang enak-enak, sedang saya dan adik nasinya kecil-kecil dan tidak ada ikannya”. Mendengar hal itu ayahnya bertanya, “Mengapa makanan anak-anak berbeda dengan makanan kita Bu?”
“Oo tidak Pak, sebenarnya sama saja, lihatlah sisa makanan yang ada di kepala Mahama Laga Ligo,” jawab istrinya.
Sebenarnya nasi yang ada di kepala Mahama Laga Ligo sengaja ditaruh oleh ibu tirinya menjelang ayahnya datang. Hal yang demikian telah dilakukan berkali-kali. Ibunya sangat marah kepada Tampe Ruma Sani yang berani melaporkan kepada ayahnya. Setelah suaminya pergi, sang ibu tiri menghajar Tarnpe Ruma Sani sampai babak belur. Tampe Ruma Sani menangis sejadi-jadinya. Melihat kakaknya dihajar, Mahama Laga Ligo pun ikut menangis.
“Kalau kalian berani melapor kepada ayahmu akan kubunuh kalian!” ancamnya.
Perlakuan kasar telah biasa diterima oleh kedua anak itu. Mereka tidak berani melaporkan kejadian itu kepada ayahnya, karena takut ancaman ibu tirinya
Kini kedua anak itu sudah besar dan menginjak dewasa. Kakak beradik itu bermaksud pergi meninggalkan orang tuanya untuk mencari nafkah sendiri, karena tidak tahan lagi menerima siksaan ibu tirinya. Maksud itu pun disampaikan kepada ayahnya, “Ayah, kami sekarang sudah besar, ingin pergi mencari pengalaman. Oleh karena itu, izinkanlah saya dan Mahama Laga Ligo pergi”.
“Mengapa engkau mau meninggalkan rumah ini? Tetaplah di sini. Rumah ini nanti akan sepi.” kata ayahnya. Ibu tirinya segera menyahut, “Benar kata Tampe Ruma Sani. Dia kini sudah besar. Bersama adiknya tentu ingin mandiri. Maka sebaiknya ayah mengizinkan mereka pergi.” Ibu tirinya memang sudah tidak senang dengan anak-anak tirinya yang dirasa sangat mengganggu.
Akhirnya, ayahnya pun dengan berat mengizinkan, berkat desakan istrinya yang terus-menerus.
Pagi hari sesudah sholat subuh, kedua anak itu meninggalkan rumahnya. Ibu tirinya memberi bekal nasi dalam bungkusan. Ayahnya mengantarkan sampai ke batas desa.
Alkisah, kedua anak itu berjalan menyusuri hutan dan sungai. Sesekali mereka membicarakan ibu tirinya yang kejam. Sesekali juga membicarakan ayahnya yang kena pengaruh ibu tirinya. Setelah seharian berjalan, Mahama Laga Ligo merasa capai.
“Kak, saya capai dan lapar. Istirahat dulu ya Kak”, katanya dengan nada menghimbau.
“Bolehlah. Kita cari dulu tempat yang teduh, lalu kita makan bekal yang diberikan ibu tadi,” kata kakaknya. Ketika mau duduk dekat adiknya yang mulai membuka bekalnya, tercium bau kotoran.
“Pindah dulu, di sekitar sini ada kotoran, kata Tampe Ruma Sani, sambil mengamati di mana kotoran itu berada. Namun, di sekitar tempat itu bersih. Lalu ia duduk lagi dan meneruskan membuka bekal yang dipegang adiknya. Ketika bekal itu dibuka bau itu tercium lebih keras. Akhinya, tahulah sumber bau itu. Bau itu temyata berasal dari bekal yang dibawanya. Rupanya ibu tirinya sangat jahat, sehingga sampai hati memberi bekal yang dicampuri kotoran manusia. Lalu, bungkusan itu pun dibuang, dengan perasaan marah dan sedih.
Dengan mengikat perutnya kencang-kencang, kedua kakak beradik itu pun melanjutkan perjalanan. Setelah beberapa lama berjalan, dilihatnya sebuah rumah di tengah hutan. Kedua anak itu merasa senang. Segeralah keduanya menaiki tangga dan mengetuk pintu. Namun, setelah beberapa saat tidak terdengar jawaban. Diketuknya sekali lagi, tetap tiada jawaban. Lalu, keduanya mendorong pintu rumah itu sedikit demi sedikit. Ternyata pintu itu tidak dikunci. Dengan perlahan-lahan, ia memeriksa seluruh penjuru rumah, temyata rumah itu tidak ada penghuninya. Di sebuah sudut rumah itu ada tiga buah karung. Setelah diperiksa, ternyata karung itu berisi merica, cengkih, dan pala. Di atas meja tersedia makanan. Di sekitar rumah ditumbuhi rumput yang tinggi, yang tampak tidak pernah dijamah manusia maupun binatang.
“Mari kita duduk di dalam rumah menunggu pemiliknya” kata Tampe Ruma Sani kepada adiknya.
Mereka duduk-duduk. Tak berapa lama, karena kecapaian, mereka tertidur. Pada saat terbangun hari telah pagi. Penghuni rumah itu belum juga muncul. Makanan di atas meja masih tetap utuh. Mereka heran, makanan itu masih hangat. Karena kelaparan, makanan itu pun mereka makan sampai habis.
Tiga hari sudah mereka berada di rumah itu. Setiap mereka bangun pagi, makanan hangat telah tersedia. Mereka semakin terheran-heran, namun tidak mampu berpikir dari mana semuanya itu.
Untuk menjaga kemungkinan makanan tidak tersedia lagi, mereka bermaksud menjual rempah-rempah dalam karung itu. Pada hari keempat, Maharna Laga Ligo berkata kepada kakak perempuannya, “Kak, biarlah saya yang menjual rempah-rempah ini sedikit demi sedikit ke pasar. Sementara saya pergi, kakak di dalam rumah saja. Kalau ada orang datang, jangan sekali-sekali kakak membukakan pintu”.
“Baiklah, pergilah, tetapi jangan lama-lama”, jawab kakaknya.
“Iya Kak, saya akan kembali setelah hasil dagangan saya terjual habis. Kakak jangan kemana-mana. Kakak diam saja di rumah. Saya berjanji akan pulang dengan membawa uang hasil dagangan”.
Setelah kepergian adiknya, Tampe Ruma Sani merasa kesepian ia mencoba mengusir kesepiannya dengan cara membersihkan rumah yang begitu kotor dan halaman rumah penuh dengan rumput-rumput yang menjulang tinggi. Hingga akhirnya setelah lima hari adiknya belum juga pulang, ia pun pergi keluar sebentar untuk mencari keramaian. Tanpa pikir panjang ia pergi ke pasar untuk menemui adiknya yang sedang berjualan.  Tidak disangka pasar ini sangat ramai, karena dari kaum bawah sampai dengan menengah orang-orang berbelanja disini. Tiba-tiba ada seseorang menghampiri Tampe Ruma Sani.
“Permisi, saya menawarkan barang dagangan berupa cengkih, merica, dan pala. Apakah kamu mau membelinya?”. Dengan sopan si penjual menawarkan barang dagangannya.
“Tidak, terimakasih, kebetulan di rumah saya masih banyak persediaan.”
Hari mulai sore, tetapi Sani belum menemukan adiknya. Sani begitu kelelahan segera ia pulang ke rumah. Ketika itu tercium bau aroma masakan yang sangat lezat, ia begitu heran dan ketakutan sudah beberapa kali ada hidangan di meja makan tetapi tidak tau siapa yang membuat. Keesokan harinya karena Sani sangat penasaran, tiba-tiba di dapur terdengar seperti ada orang asing. Tiba-tiba ia mengintip dari jendela belakang rumah ternyata ada seorang pria sedang memasak.
“Siapa kamu dan mau apa maksud kedatanganmu? Pergi sana! Jangan ganggu saya”.  Wajah Tampe Ruma Sani begitu pucat dan takut saat melihat sosok orang tak dikenal.
Tak lama seseorang itu menampakkan wajahnya dan menghampiri Sani. “kau!! Kau itu kan gadis yang pernah kutemui di pasar kemarin sore. Seharusnya aku yang bertanya, kau ini siapa? Kenapa tiba-tiba bisa masuk ke rumahku?”
“Kamu itu kan sempat menawarkan daganganmu kepada saya! Jadi rempah-rempah dan rumah ini milikmu?”
“Awalnya sih ini bukan milikku, tetapi sekarang sudah kepunyaanku. Lalu mengapa kau bisa masuk ke rumahku?”
“kalau memang ini rumahmu, kenapa tidak ada satu pun yang tinggal disini? Maafkan saya, karena telah masuk  dan begitu lancangnya di rumahmu dan memakan masakanmu. Saya tidak tahu.” Tampe Ruma Sani sangat bersalah dan menjelaskan kedatangan ia kepada pemuda itu.
“Sudah aku maafkan. Aku percaya kamu orang baik-baik. Baiklah, perkenalkan namaku Inu Kertapati. Panggil saja aku Inu.” Pemuda itu begitu ramah saat memperkenalkan dirinya.
“Saya Tampe Ruma Sani! Terimakasih kau tidak marah kepada saya. Kalau begitu saya akan angkat kaki dari sini.”
Inu langsung mencegah Sani agar ia tidak pergi. “Memangnya kamu mau kemana? Sedangkan kamu tidak punya perbekalan selama perjalan, dan kamu hanya sendirian.”
“Biarlah saya pergi, saya mau mencari adik saya yang telah lama belum juga pulang”
“Kamu saja tidak tahu mau kemana, untuk sementara kamu tinggallah disini dulu tunggu sampai adikmu pulang. Tenang saja aku tidak akan mencelakaimu, aku ini orang baik-baik”.
              Akhirnya keputusan Tampe Ruma Sani akan tetap tinggal di rumah Inu sambil menunggu adiknya,  Mahama Laga Ligo pulang. Saat pagi datang Sani membuatkan teh hangat untuk Inu, tetapi ia pergi dan hilang entah kemana. Dipikir Sani mungkin ia sedang ke pasar untuk menjual rempah-rempahnya. Tiba-tiba terdengar suara orang berjalan, ternyata Inu. Tampe Ruma Sani kaget ketika Inu muncul secara diam-diam. Rupanya ia mencari pakaian untuk Tampe Ruma Sani, karena ia merasa kasihan dan saat melihatnya pakaiannya sudah lusuh.
“Maaf aku telah mangagetkanmu, tadi aku mampir sebentar ke pasar aku melihat pakaian indah. Sepertinya cocok untukmu makanya aku belikan. Sekarang kamu pakai ya!”.
“Terimakasih Inu, engkau baik sekali saya jadi merepotkanmu”. Sani sangat senang setelah dibelikan pakaian baru, langsung saja ia memakai pakaian pemberian dari Inu. Setelah itu apa yang terjadi? Ternyata Inu terpesona saat melihat Sani setelah mengganti pakaiannya dan rambutnya terjurai panjang. Maka disitu awal mula Inu jatuh cinta kepada Sani. Segera Inu memulai percakapan ringan kepada Sani. Mereka saling menatap dan mengobrol asyik sampai lupa hari sudah sore. Dan sepertinya Sani pun begitu nyaman saat mengobrol dengan Inu. Apakah Sani menyukai sama seperti Inu meyukai Sani?
“San, besok pagi aku pergi dalam beberapa hari. Kamu tunggu disini jangan kemana-mana. Tunggu aku dan adikmu sampai kembali”. Apa yang terjadi kepada Inu sehingga ia meninggalkan Sani sendirian.
“Baiklah, aku akan menunggu kedatanganmu  pulang!” sepertinya Sani merasa sedih karena Inu pergi meninggalkannya.
Dua hari kemudian adiknya, Mahama Laga Ligo pulang. Tentu Sani senang, tetapi saat melihat Ligo sepertinya ada yang berbeda dengan pakaiannya. Seperti pakaian para Raja.
“Kamu kemana saja Ligo, kakak mencemaskanmu. Untung saja yang punya rumah ini baik dengan kakak. Hampir saja kakak mau pergi dari rumah ini, tetapi pemuda itu baik sekali dia juga berkata kakak tidak boleh pergi sebelum kamu pulang”.
“Maafkan saya Kak, karena pada saat itu saya bekerja di kerajaan seberang sana. Ingin rasanya saya pulang dan memberi tahu kakak bahwa saya telah bekerja di istana Raja”.
“Apa? Kamu bekerja di kerajaan! Bagaimana caranya, kok kamu bisa bekerja disana. Sedangkan yang kakak tahu kamu pergi ke pasar untuk menjual rempah-rempah. Ceritakan pada kakak apa yang terjadi padamu!”
“Awalnya saya sedang berjualan di pasar, tiba-tiba ada seorang pemuda menyeberang dengan tidak hati-hati. Cepatlah saya menolongnya, kalau tidak tertolong maka hilanglah nyawa pemuda itu. Dari situ saya diberikan pekerjaan olehnya”. Singkat cerita saat Mahama Laga Ligo berada diluar.
Tiga hari kemudian Inu Kertapati kembali datang menemui Tampe Ruma Sani, ia begitu berbeda dengan pakaiannya. Ia datang tidak sendiri ia datang bersama beberapa hulubalang. Sani begitu pangling dan tidak mengenali Inu dengan begitu gagah dan tampan rupawan. Kedatangan ia kemari untuk menjemput Tampe Ruma Sani ke istana dan ia ingin melamar Tampe Ruma Sani.
“Kau kah Inu, sebenarnya kau ini siapa? Kenapa penampilanmu berbeda. Katakan sejujurnya!”
“Maafkan aku Sani, bukan maksudku untuk membohongimu. Aku ingin mencari cinta sejati dan kini aku telah menemukannya. Kebahagiaanku kini telah berada di depan mata, yaitu kamu”.
“Saya! Apa maksudmu? Kalau memang kau benar-benar mencintai saya dan ingin melamar, temui ayah saya dan mina restu kepada ayah saya.”
“Baiklah, aku akan temui ayahmu dan meminta restu kepada kedua orang tuamu. Agar aku bisa meminangmu!”
“Pangeran Inu Kertapati! Lago kaget saat melihat Inu yang ternyata pangeran mengenal kakaknya dan datang ke rumah di tengah-tengah hutan.
 “Kamu kenal Dik?” singkat Sani.
“Iya, Kak saya kenal dengan pemuda ini. Pemuda ini yang telah memberikan saya pekerjaan dan pernah saya ceritakan kepada kakak sebelumnya waktu ia tertabrak”.
Tibalah saat pertemuan Inu Kertapati dan ayah Tampe Ruma Sani. Bersama Tampe Ruma Sani dan adiknya, Mahama Laga Lago. Sani menanyakan ibu tirinya kepada ayah , ternyata ibu tirinya pergi meninggalkan ayahnya karena ia mendapatkan laki-laki yang lebih muda, gagah, dan kaya raya. Terkejutlah Tampe Ruma Sani dan Mahama Laga Lago saat mendengar cerita menyedihkan dari sang ayah. Kini ayahnya tinggal sendiri di rumah. Ayahnya langsung menanyakan temannya, Inu Kertapati.
“Maaf  Pak, kedatangan saya mengganggu. Tetapi kedatangan saya kemari untuk melamar anak bapak. Apakah bapak merestui hubungan saya dengan Sani?” dengan tegas Inu meminta restu kepada ayah Sani.
Singkat cerita, akhirnya hubungan mereka berakhir dengan pernikahan. Pernikahan dengan acara begitu mewah. Semua rakyat diundang dan ayahnya membagikan ikan hasil tangkapannya secara gratis kepada rakyat. Dan mereka pun dibawa ke istana dan Tampe Rurna Sani dijadikan permaisurinya.

Yayu Lestari
Cerpen  Tampe Ruma Sani versi ubahan

1 komentar:

  1. Perhatikan instruksinya, masih dengan ide kisah cinta yang sama. Coba gali ide lain untuk tulisan berikutnya. Semangat!

    BalasHapus