Minggu, 01 Februari 2015

Hasrulloh (ubahan)


TAMPE RUMA SANI


Cerita ini berasal dari Dompu, salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Barat.
Alkisah pada zaman dulu, tinggallah seorang anak perempuan bernama Tampe Ruma Sani. Semua orang di kampungnya mengenal dia, sebab setiap hari ia menjajakan ikan hasil tangkapan ayahnya. Ibunya sudah meninggal. Di rumahnya ia tinggal bersama ayah dan adik laki-lakinya yang masih kecil. Ia memasak nasi untuk ayah dan adiknya. Kasihan Tampe Ruma Sani yang masih kecil itu harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa.
Pada suatu hari, seorang janda menyapa Tampe Rurna Sani, “Sudah habis ikanmu Nak? Tiap hari saya lihat ikanmu cepat habis, apa rahasianya?”
“Saya menjual lebih murah dari yang lain, agar cepat habis, karena saya harus segera pulang menanak nasi untuk ayah dan adik saya. Juga pekerjaan rumah tangga yang lain harus saya kerjakan”, jawab Tampe Rurna Sani sambil berjalan cepat.
“Siapa nama adikmu?”
“Mahama Laga Ligo”, jawab Tampe Rurna Sani. “Mengapa bukan adikmu yang memasak?”
“Adikku masih kecil, belum bisa memasak.” Bermacam-macam pertanyaan janda itu kepada Tampe Ruma Sani.
“Sampaikan salamku kepada ayahmu! Aku mau membantu kalian dan tinggal di rumah ayahmu. Aku mau membuat tembe (sarung), sambolo (destar) dan ro sarowa (celana) untuk ayahmu”, kata janda itu dengan manis.
“Baik Bu, akan saya sampaikan kepada ayah.” Singkat cerita janda itu kini telah kawin dengan ayah mereka, dan menjadi ibu tirinya Kini Tampe Ruma Sani lidak lagi memasak. Pekerjaannya hanya menjajakan ikan saja. Sekali-sekali ikut menumbuk padi. Setiap menumbuk padi, ibunya selalu berpesan agar beras yang utuh dipisahkan dengan yang hancur.
Pada mulanya, ibu tirinya sangat baik kepada Tampe Ruma Sani dan adiknya. Namun, lama-kelamaan sikapnya berubah. Tampe Rurna Sani dan Mahama Laga Ligo mendapat perlakuan yang kurang baik, lebih-lebih kalau ayahnya tidak berada di rumah.
Pada suatu hari, ayahnya baru pulang menangkap ikan. Sang ibu tiri segera menyiapkan makanan yang enak-enak untuknya. Sedang untuk anak ttrinya disediakan nasi menir (nasi dari beras yang hancur kecil-kecil). Melihat hal itu, Tampe Ruma Sani memberanikan diri lapor kepada ayahnya, “Ayah dan ibu makan nasi yang bagus dan ikannya yang enak-enak, sedang saya dan adik nasinya kecil-kecil dan tidak ada ikannya”. Mendengar hal itu ayahnya bertanya, “Mengapa makanan anak-anak berbeda dengan makanan kita Bu?”
“Oo tidak Pak, sebenarnya sama saja, lihatlah sisa makanan yang ada di kepala Mahama Laga Ligo,” jawab istrinya.
Sebenarnya nasi yang ada di kepala Mahama Laga Ligo sengaja ditaruh oleh ibu tirinya menjelang ayahnya datang. Hal yang demikian telah dilakukan berkali-kali. Ibunya sangat marah kepada Tampe Ruma Sani yang berani melaporkan kepada ayahnya. Setelah suaminya pergi, sang ibu tiri menghajar Tarnpe Ruma Sani sampai babak belur. Tampe Ruma Sani menangis sejadi-jadinya. Melihat kakaknya dihajar, Mahama Laga Ligo pun ikut menangis.
“Kalau kalian berani melapor kepada ayahmu akan kubunuh kalian!” ancamnya.
Perlakuan kasar telah biasa diterima oleh kedua anak itu. Mereka tidak berani melaporkan kejadian itu kepada ayahnya, karena takut ancaman ibu tirinya
Kini kedua anak itu sudah besar dan menginjak dewasa. Kakak beradik itu bermaksud pergi meninggalkan orang tuanya untuk mencari nafkah sendiri, karena tidak tahan lagi menerima siksaan ibu tirinya. Maksud itu pun disampaikan kepada ayahnya, “Ayah, kami sekarang sudah besar, ingin pergi mencari pengalaman. Oleh karena itu, izinkanlah saya dan Mahama Laga Ligo pergi”.
“Mengapa engkau mau meninggalkan rumah ini? Tetaplah di sini. Rumah ini nanti akan sepi.” kafa ayahnya. Ibu tirinya segera menyahut, “Benar kata Tampe Ruma Sani. Dia kini sudah besar. Bersama adiknya tentu ingin mandiri. Maka sebaiknya ayah mengizinkan mereka pergi.” Ibu tirinya memang sudah tidak senang dengan anak-anak tirinya yang dirasa sangat mengganggu.
Akhirnya, ayahnya pun dengan berat mengizinkan, berkat desakan istrinya yang terus-menerus.
Pagi hari sesudah sholat subuh, kedua anak itu meninggalkan rumahnya. Ibu tirinya memberi bekal nasi dalam bungkusan. Ayahnya mengantarkan sampai ke batas desa.
Alkisah, kedua anak itu berjalan menyusuri hutan dan sungai. Sesekali mereka membicarakan ibu tirinya yang kejam. Sesekali juga membicarakan ayahnya yang kena pengaruh ibu tirinya. Setelah seharian berjalan, Mahama Laga Ligo merasa capai.
“Kak, saya capai dan lapar. Istirahat dulu ya Kak”, katanya dengan nada menghimbau.
“Bolehlah. Kita cari dulu tempat yang teduh, lalu kita makan bekal yang diberikan ibu tadi,” kata kakaknya. Ketika mau duduk dekat adiknya yang mulai membuka bekalnya, tercium bau kotoran.
“Pindah dulu, di sekitar sini ada kotoran, kata Tampe Ruma Sani, sambil mengamati di mana kotoran itu berada. Namun, di sekitar tempat itu bersih. Lalu ia duduk lagi dan meneruskan membuka bekal yang dipegang adiknya. Ketika bekal itu dibuka bau itu tercium lebih keras. Akhinya, tahulah sumber bau itu. Bau itu temyata berasal dari bekal yang dibawanya. Rupanya ibu tirinya sangat jahat, sehingga sampai hati memberi bekal yang dicampuri kotoran manusia. Lalu, bungkusan itu pun dibuang, dengan perasaan marah dan sedih.
Dengan mengikat perutnya kencang-kencang, kedua kakak beradik itu pun melanjutkan perjalanan. Setelah beberapa lama herjalan, dilihatnya sebuah rumah di tengah hutan. Kedua anak itu merasa senang. Segeralah keduanya menaiki tangga dan mengetuk pintu. Namun, setelah beberapa saat tidak terdengar jawaban. Diketuknya sekali lagi, tetap tiada jawaban. Lalu, keduanya mendorong pintu rumah itu sedikit demi sedikit. Ternyata pintu itu tidak dikunci. Dengan perlahan-lahan, ia memeriksa seluruh penjuru rumah, temyata rumah itu tidak ada penghuninya. Di sebuah sudut rumah itu ada tiga buah karung. Setelah diperiksa, ternyata karung itu berisi merica, cengkih, dan pala. Di atas meja tersedia makanan. Di sekitar rumah ditumbuhi rumput yang tinggi, yang tampak tidak pernah dijamah manusia maupun binatang.
“Mari kita duduk di dalam rumah menunggu pemiliknya” kata Tampe Ruma Sani kepada adiknya.
Mereka duduk-duduk. Tak berapa lama, karena kecapaian, mereka tertidur. Pada saat terbangun hari telah pagi. Penghuni rumah itu belum juga muncul. Makanan di atas meja masih tetap utuh. Mereka heran, makanan itu masih hangat. Karena kelaparan, makanan itu pun mereka makan sampai habis.
Tiga hari sudah mereka berada di rumah itu. Setiap mereka bangun pagi, makanan hangat telah tersedia. Mereka semakin terheran-heran, namun tidak mampu berpikir dari mana semuanya itu.
Untuk menjaga kemungkinan makanan tidak tersedia lagi, mereka bermaksud menjual rempah-rempah dalam karung itu. Pada hari keempat, Maharna Laga Ligo berkata kepada kakak perempuannya, “Kak, biarlah saya yang menjual rempah-rempah ini sedikit demi sedikit ke pasar. Sementara saya pergi, kakak di dalam rumah saja. Kalau ada orang datang, jangan sekali-sekali kakak membukakan pintu”.
“Baiklah, pergilah, tetapi jangan lama-lama”, jawab kakaknya.
Ternyata kepergian sang adik memakan waktu yang cukup lama. Sudah dua hari Maharna Laga Ligo pergi, Tampe Ruma Sani hanya bias menunggu sang adik pulang dengan membawa makanan untuk mereka berdua makan.
Di pagi hari ketiga sang adik pergi, Tumpe Ruma Sani tidak dapat menahan rasa laparnya lagi. Akhirnya ia memutudkan untuk meninggalkan rumah itu untuk mencari tanaman yang bias ia jadikan pengganjal perut. Sekitar satu jam ia pergi, di tengah hutan ia akhirnya menemukan tanaman jamur. Setelah ia memetik beberapa jamur ia segera bergegas kembali ke rumah itu.
Di tengah-tengah perjalan ia kembali, Tumpe Ruma Sani melihat seorang laki-laki dengan pakaian seperti hulubalang kerajaan, ia sepertiny tengah berburu hewan-hewan hutan. Tanpa menuruti rasa penasarannya Tumpe Ruma Sani segera melepaskan pandangannya terhadap lelaki itu, namun tanpa ia sadari ternyata lelaki itu pun memperhatikan Tumpe Ruma Sani. Lelaki itu pun mengikuti Tumpe Ruma Sani dari belakang karena ia penasaran mengapa bias ada wanita cantik di tengah hutan yang ia ketahui tak berpenghuni. Tumpe Ruma Sani pun akhirnya menyadari bahwa ia sedang diikuti oleh hulubalang itu, ia pun mempercepat langkahnya.
Setelah sampai di rumah itu, Tumpe Ruma Sani segera menutup pintu. Ia takut lelaki itu akan berbuat macam-macam dengannya. Lelaki yang penasarn itu segera mendekati rumah yang ia yakini di masuki oleh wanita yang ia lihat. Ia pun mengetuk pintu rumah itu, tetapi tidak ada jawaban dari dalam. Ia terus mengetuk pintu, tetap tidak  ada jawaban. Sementara itu di dalam Tumpe Ruma Sani hanya bias terdiam sambil berdoa sang adik segera dating untuk menolong kakaknya yang ketakutan.
Karena ketukan pintunya tidak terjawab, maka hulubalang raja itu turun, dan memeriksa kolong rumah itu. Ia melihat rambut yang terjurai di bawah kolong. Lalu, ia pun menarik rambut itu. Rambut itu adalah rambut Tampe Ruma Sani. Ketika ditarik, ia merasa kesakitan dan berteriak. Hulubalang itu terkejut. Ia lidak mengira, rambut itu rambut manusia. Ia segera kembali meminta agar pintu dibuka. Namun, Tampe Ruma Sani tetap tidak mau membuka.
Hulubalang itu segera kembali ke kerajaan dan melaporkan peristiwa itu kepada rajanya yang kebetulan sedang mencari seorang wanita untuk ia jadikan permaisuri.
Mendapat laporan yang demikian, raja bersama beberapa hulubalang yang lain segera menuju hutan di mana rumah itu berada. Di tengah perjalanan sang raja bertemu dengan Mahama Laga Ligo yang tengah sibuk menjual rempah-rempahnya namun ternyata di pasar itu tidak ada yang mau membeli rempah-rempah Mahama Laga Ligo. Akhirnya sang raja yang merasa kasihan melihat wajah lelah Mahama Laga Ligo membeli semua rempah-rempah yang ia jajakan. Dalam hati Mahama berkata “ begitu baik hati sang raja itu, andaikan saja kakakku melihat, pasti ia tidak akan menolaknya sebagai suami”
Sang raja pun melanjutkan perjalanannya ke hutan untuk menemui wanita yang di lihat hulubalangnya. Setelah berjalan sekitar dua jam akhirnya raja sampai di rumah tempat tampe Ruma Sani ketakutan menantikan kedatangan adiknya. Sang raja  meminta agar pintu dibuka. Namun, Tampe Ruma Sani tetap tidak berani membukanya. “Jangan takut! Aku raja di negeri ini” ucap sang raja mencoba meyakinkan Tampe Ruma Sani. Pada saat itu, Mahama Laga Ligo datang. Dan ia melihat sang raja dan hulubalangnya tengah berkumpul di depan pintu rumah itu. “Wahai raja apa yang anda lakukan disini” Tanya Mahama Laga Ligo penasaran dengan keramaian di rumah itu. Sang raja pun menjelaskan maksudnya, dan Mahama Laga Ligo yang megerti maksud dari sang raja memerintahkan sang kakak membukakan pintu “ Kak aku sudah kembali, bukakan pintu”
Tampe Ruma Sani membukakan pintu dan sang adik memperkenalkan sang raja dengan kakak tercintanya. Setelah mendengar kebaikan raja itu kepada adiknya. Tampe Ruma Sani segera meminta maaf dan mengiyakan maksud sang raja yang ingin memperistrinya. Akhirnya Tampe Ruma Sani pun menikah dengan sang raja dan mereka pun hidup bahagia selamanya.





Cerita disalin dari http://dongeng.org/tampe-ruma-sani/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar