Minggu, 08 Februari 2015

CERPEN UAS (Awan dan Mentari)

                                                                                                          RIMA TIANA 2013070117


AWAN DAN MENTARI
Hari ini, matahari bersinar sangat cerah. Namun tidak secerah suasana hati Awan. Wajahnya terlihat murung. Dengan malas, Awan memarkir sepedanya di halaman sekolah. Sekolah masih sepi, hanya ada beberapa murid yang baru datang.
“Aku malas bertengkar lagi dengan Mentari. Kapan aku bisa berteman dengannya?. Aku tidak pernah jahat dengan siapaun.” Keluh Awan dalam hatinya. Ia menggeleng-gelengkan kepala mengingat semua yang sering dilakukan Mentari kepadanya.
15 menit sebelum bel. Sekolah sudah mulai ramai dengan para murid dan guru-guru. Sambil menunggu bel berbunyi, seperti biasa, di kelas, Awan membuka-buka buku tugas dan mengoreksi kembali tugas yang ia kerjakan semalam.
“Eh, liat tuh!. Anak cupu lagi belajar. Takut beasiswanya dicabut kali ya temen-temen.” Teriak Mentari dari belakang. Awan memang duduk di barisan paling depan, dan barisan ketiga ada Mentari yang duduk di sana. Awan tidak ambil pusing dengan celotehan Mentari, selain sudah biasa, ia juga ingat pesan mamanya untuk tidak berbuat jahat kepada siapapun yang menyakiti dirinya.
“Tapi kata Kepala Sekolah, Awan itu sekolah di sekolah kita yang mahal ini ya biaya sendiri. Iya sih dia pinter banget sampe-sampe ditawarin beasiswa. Tapi Awan nolak, malah minta uangnya buat disumbangin di Panti Asuhan.” Jelas Bunga, sahabat Mentari.
“Ah, ga percaya. Culun gitu, ke sekolah aja naik sepeda. Masa mampu sih bayaran ke sekolah ini?.” Elak Mentari.
Beberapa menit kemudian, bel berbunyi sangat nyaring. Menandakan, bahwa pelajaran akan segera dimulai. Seorang guru memasuki kelas 4A. Tempat Awan dan Mentari belajar. Ya, saat ini mereka tengah duduk di kelas 4 Sekolah Dasar 45.
-0-
Waktu istirahat sekolah telah tiba. Para murid berbondong-bondong ke kantin untuk mengisi perut mereka yang lapar. Begitupun dengan Awan. Namun seperti biasa, Awan ke kantin hanya untuk membeli minum, ia selalu membawa bekal ke sekolah.
Saat Awan sedang memesan minum kepada ibu kantin, Mentari melihatnya dan memamerkan barang-barang bagusnya untuk memanas-manasi Awan. Selama ini, Awan tidak pernah tertarik dengan barang-barang mewah milik Mentari. Mentari berpikir, bahwa Awan tidak akan mampu membelinya sekalipun ia ingin. Penampilan Awan sangat sederhana. Tapi walau begitu, ia tidak kusam dan kotor. Bahkan sangat bersih dan rapi.
“Eh Bunga, liat deh gelang aku. Bagus kan?.” Ucap Mentari kepada Bunga sambil memperlihakan gelang yang melingkar cantik di tangan kanannya.
“Waahh bagus banget Tari, ini pasti mahal.” Ucap Bunga antusias.
“Iya dong pastinya. Mamaku beliin ini di impor langsung dari Singapur.” Kata Mentari bangga.
“Oya. Ini Ipod aku, bagus kaannn?.” Lanjutnya, ia memperlihatkan Ipod yang sejak tadi berada di pangkuannya kepada Bunga.
“Bagus banget.”
“Orang miskin, mana mampu beli ginian. Hahaaa.” Sekilas, mata Mentari mengekor ke arah Awan yang berjalan keluar kantin sambil membawa sebotol air mineral. Awan sempat tersenyum kepada Mentari saat ia melihat Mentari sedang melihatnya.
-0-
Waktu belajar di sekolah sudah habis. Saatnya para murid pulang ke rumah masing-masing dan mempelajarir kembali pelajaran yang telah di ajarkan guru-guru mereka tadi. Awan berjalan santai menuju sepedanya yang ia parkir di halaman sekolah.
Awan hanya menggeleng-gelengkan kepala saat ia melihat ban sepedanya kempes. “Ini pasti ulah Mentari. Ya udahlah.” Gumam Awan. Ia langsung memegang sepedanya dan menuntunnya. Sepeda yang kempes, tidak mungkin bisa dinaiki. Awan harus memompanya terlebih dahulu.
Sampai di depan pinter gerbang. Awan mendapati Mentari sedang berdiri di sana. Ia tertawa terbahak-bahak melihat Awan sedang menuntun sepedanya.
“Hahaa rasain!. Jalan kaki kaann pulangnya. Hahaaa.” Tawa Mentari
“Ngga papa ko Mentari. Itung-itung aku olahraga.” Ucap Awan.
Mendengar jawaban Awan, Mentari menjadi kesal dan marah.
“Eh Awan!. Kenapa sih kamu ngga pernah bales aku kalo aku ngejailin kamu?. Kenapa sih kamu ngga pernah marah sama aku kalo aku ngejailin kamu?. Kenapa kamu ngga pernah ngajak ribut aku kalo aku ngeselin kamu?. Kamu takut?. Takut dimarahin mama papa aku?. Aku aja yang perempuan berani sama kamu.” ucap Mentari geram.
“Mama aku selalu bilang, kalo aku ngga boleh berlaku kasar sama semua orang.” Jawab Awan.
“Aaahh bilang aja kamu ngga berani sama aku.”
Saat Mentari sedang bertengkar dengan Awan, ada sebuah motor yang menghampiri mereka. Itu adalah motor pak Sabar. Wali kelas mereka.
“Hei kalian itu, selalu saja bertengkar. Kamu Mentari, apa nda bosen toh ngejailin Awan terus?. Awan ini anaknya baik loh nak.” Pak Sabar geram juga melihat Mentari menjaili Awan terus. Berbagai tindakan sering dilakukan Mentari terhadap Awan, namun syukurnya Awan anak baik, ia tidak pernah membalas Mentari yang memang agak nakal. Pernah orang tua Mentari dipanggil ke sekolah untuk mendengar perlakuan anaknya itu. Namun selalu saja pembantunya yang datang dengan alasan mereka tidak bisa meninggalkan pekerjaan.
“Sudah kalian pulang, besok bapak tidak mau melihat kalian bertengkar lagi. Kamu Mentari, supir kamu sudah nunggu kamu di sana. Awan, mau bapak carikan taksi atau tidak?.”
“Ngga usah pak. Di sebrang sana ada bengkel ko.”
“Ya sudah kalau gitu. Ingat!, Mentari, cobalah berteman dengan Awan. Bapak pulang duluan ya.”
“Iya pak.” Jawab Awan sopan.
-0-
Hari ini pelajaran Bahasa Indonesia. Bu Nuri, guru Bahasa Indonesia, memberikan tugas kelompok untuk membuat dongeng. Mentari sangat kesal saat tahu ia sekelompok dengan Awan.
“Bu, kenapa sama Awan?. Aku ngga mau sama Awan.” Mentari memanyunkan bibirnya gemas.
“Kamu kan suka ribut terus sama Awan, ibu menjadikan kalian satu kelompok supaya kalian bisa lebih saling mengenal dan bekerja sama dengan baik.” Jelas bu Nuri.
“Kan bisa sama yang lain bu. Kalau nanti rumah aku kotor karna belajar sama Awan gimana?.” Elak Mentari.
“Kamu belajar di rumah Awan.”
“Tapi, bu...”
“di sana, kamu akan tahu, bagaimana kehidupan Awan yang sesungguhnya.”
Awan hanya diam saja mendengar percakapan antara bu Nuri dan Mentari.
Setelah lama membujuk Mentari, akhirnya ia mau juga sekelompok dengan Awan dan mengerjakan Pekerjaan Rumah di rumah Awan. Dengan satu syarat kalau Bunga juga harus sekelompok dengannya.
-0-
Hari sudah siang. Anak-anak Sekolah Dasar 45 mulai berhamburan keluar kelas saat bel pulang berbunyi.
Mentari, kamu jadi ngerjain Pekerjaan Rumah kita di rumah aku sekarang?.” Tanya Awan kepada Mentari saat mereka berpapasan di depan pintu kelas.
“Yaaa mau gimana lagi?. Aku tunggu Bunga dulu. Dan satu lagi. Aku sama Bunga naik mobil. Dan kamu, tetep naik sepeda. Ntar supir aku yang anterin aku sama Bunga ke rumah kamu.” Kata Mentari jutek.
“Hari ini aku ngga bawa sepeda. Sepeda aku rusak. Kita ke rumah aku naik taksi aja ya.”
“Naik taksi?. Terus aku bayarin kamu gitu?. Iiihhh keenakan!.”
“Aku yang bayar.”
Awalnya, Mentari berpikir kalau Awan berbohong padanya. Ternyata benar, setelah taksi berhenti di depan sebuah rumah yang sangat mewah bak istana, Awan meminta Mentari dan Bunga untuk turun. Ia langsung membayar taksi dengan uang dua ratusan.
“Kembaliannya buat bapak aja. Makasih ya pak.” Ucap Awan sopan kepada pengemudi taksi.
“Ayo Bunga, Mentari, kita masuk.” Kata Awan kemudian.
“Waaahhh orang tua kamu jadi pembantu di sini Wan?. Rumahnya bagus banget.” Bunga terkagum-kagum melihat rumah yang ada di depannya. Rumah yang lebih besar daripada rumah Mentari.
Awan hanya tersenyum. Sedangkan Mentari diam saja. Tidak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya.
Beberapa menit kemudian, datang seorang satpam dan segera membukakan gerbang untuk Awan dan teman-temannya. “Makasih pak Udin.” Kata Awan ramah.
Mereka bertiga langsung masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang santai. Ruangan yang sangat indah. Jika melihat ke kanan, terlihat ada sebuah kolam renang yang besar. Dan jika melihat ke kiri, terlihat sebuah taman yang asri.
“Bi, tolong bikinin minum buat temen aku ya.” Ucap Awan kepada pembantu di rumahnya.
“Kalian mau minum apa?.” Awan melihat kedua temannya itu bungkam seribu bahasa.
“Bunga?, Mentari?.”
“Eee i..iyyaaa aku jus mangga.” Ucap Bunga gugup.
“Kamu mentari?.”
“Ju.. jus jeruk aja.”
“Ya udah bi, jus mangga satu sama orange jusnya dua yah.” Pembantu itupun berlalu pergi ke dapur setelah ia mengangguk sopan sambil tersenyum.
“Awan, jelasin sama aku, ini rumah siapa?.” Tanya Mentari.
“Ini rumah orang tua aku.” Dengan santai, Awan menjawab pertanyaan Mentari. “Sebentar ya.” Lanjutnya. Lalu Awan pergi meninggalkan Mentari dan Bunga yang sedang kebingungan.
Beberapa menit kemudian Awan datang dengan membawa sebuah laptop dan tab.
“Kita cari dulu di internet, judul yang bagus kira-kira apa ya?.” Kata Awan kemudian.
“Awan, ini apa-apaan?. Ko bisa?.” Mentari masih bingung dengan semua yang ia lihat.
“Iya Mentari, ini adalah rumah orang tuaku. Mereka adalah pengusaha di beberapa negara. Jelas Awan.
“Tapi kamu...”
“Aku dan orang tuaku sangat cinta dengan negara kami. Lagipula, aku lebih suka bermain congklak daripada main games di tab ini. Penampilan aku selama ini yang sederhana, dan selalu membawa sepeda ke sekolah, itu karena aku mengurangi polusi di tempat kita berada ini. Sekalian aku olahraga juga. Laptop sama tab aku ini biasanya aku gunain buat cari penjelasan tentang pelajaran yang aku belum ngerti di sekolah.” Awan menjelaskan semuanya kepada Mentari dan Bunga.
“Kenapa begitu?.” Tanya Bunga.
“Aku ngga mau budaya kita hilang, dan di ganti sama budaya luar. Lagipula, permainan tradisional juga menarik ko. Satu lagi, produk-produk yang di buat di Indonesia juga bagus-bagus. Ngga kalah sama barang-barang punya Mentari. Barang di sini kebanyakan dari produk Indonesia. Laptop ma tab, keduanya aku gunain buat belajar. Aku emang kolot sama bdaya, tapi aku juga ngikutin arus zaman.”
Mentari dan Bunga sangat kaget dengan jawaban Awan. Mereka kagum dan menyesal telah memandang Awan jelek. Benar kata bu Nuri. Di rumah Awan ini, Mentari dan Bunga akan tahu yang sebenarnya. Mentari dan Bunga meminta maaf kepada Awan. Dan mulai saat itu, mereka berteman. Mentari juga sudah mulai berubah, sudah tidak nakal seperti kemarin lagi. Awan menyadarkan Mentari, kalau ada banyak cara untuk mengekspresikan kecintaan kita kepada tanah air. Contohnya, seperti yang selama ini Awan lakukan. Terima kasih Awan.
TAMAT



Tidak ada komentar:

Posting Komentar