RIMA TIANA 2013070117
AWAN DAN MENTARI
Hari
ini, matahari bersinar sangat cerah. Namun tidak secerah suasana hati Awan.
Wajahnya terlihat murung. Dengan malas, Awan memarkir sepedanya di halaman
sekolah. Sekolah masih sepi, hanya ada beberapa murid yang baru datang.
“Aku
malas bertengkar lagi dengan Mentari. Kapan aku bisa berteman dengannya?. Aku
tidak pernah jahat dengan siapaun.” Keluh Awan dalam hatinya. Ia
menggeleng-gelengkan kepala mengingat semua yang sering dilakukan Mentari
kepadanya.
15
menit sebelum bel. Sekolah sudah mulai ramai dengan para murid dan guru-guru.
Sambil menunggu bel berbunyi, seperti biasa, di kelas, Awan membuka-buka buku
tugas dan mengoreksi kembali tugas yang ia kerjakan semalam.
“Eh,
liat tuh!. Anak cupu lagi belajar. Takut beasiswanya dicabut kali ya
temen-temen.” Teriak Mentari dari belakang. Awan memang duduk di barisan paling
depan, dan barisan ketiga ada Mentari yang duduk di sana. Awan tidak ambil
pusing dengan celotehan Mentari, selain sudah biasa, ia juga ingat pesan
mamanya untuk tidak berbuat jahat kepada siapapun yang menyakiti dirinya.
“Tapi
kata Kepala Sekolah, Awan itu sekolah di sekolah kita yang mahal ini ya biaya
sendiri. Iya sih dia pinter banget sampe-sampe ditawarin beasiswa. Tapi Awan
nolak, malah minta uangnya buat disumbangin di Panti Asuhan.” Jelas Bunga,
sahabat Mentari.
“Ah,
ga percaya. Culun gitu, ke sekolah aja naik sepeda. Masa mampu sih bayaran ke
sekolah ini?.” Elak Mentari.
Beberapa
menit kemudian, bel berbunyi sangat nyaring. Menandakan, bahwa pelajaran akan
segera dimulai. Seorang guru memasuki kelas 4A. Tempat Awan dan Mentari
belajar. Ya, saat ini mereka tengah duduk di kelas 4 Sekolah Dasar 45.
-0-
Waktu
istirahat sekolah telah tiba. Para murid berbondong-bondong ke kantin untuk
mengisi perut mereka yang lapar. Begitupun dengan Awan. Namun seperti biasa,
Awan ke kantin hanya untuk membeli minum, ia selalu membawa bekal ke sekolah.
Saat
Awan sedang memesan minum kepada ibu kantin, Mentari melihatnya dan memamerkan
barang-barang bagusnya untuk memanas-manasi Awan. Selama ini, Awan tidak pernah
tertarik dengan barang-barang mewah milik Mentari. Mentari berpikir, bahwa Awan
tidak akan mampu membelinya sekalipun ia ingin. Penampilan Awan sangat
sederhana. Tapi walau begitu, ia tidak kusam dan kotor. Bahkan sangat bersih dan
rapi.
“Eh
Bunga, liat deh gelang aku. Bagus kan?.” Ucap Mentari kepada Bunga sambil
memperlihakan gelang yang melingkar cantik di tangan kanannya.
“Waahh
bagus banget Tari, ini pasti mahal.” Ucap Bunga antusias.
“Iya
dong pastinya. Mamaku beliin ini di impor langsung dari Singapur.” Kata Mentari
bangga.
“Oya.
Ini Ipod aku, bagus kaannn?.” Lanjutnya, ia memperlihatkan Ipod yang sejak tadi
berada di pangkuannya kepada Bunga.
“Bagus
banget.”
“Orang
miskin, mana mampu beli ginian. Hahaaa.” Sekilas, mata Mentari mengekor ke arah
Awan yang berjalan keluar kantin sambil membawa sebotol air mineral. Awan
sempat tersenyum kepada Mentari saat ia melihat Mentari sedang melihatnya.
-0-
Waktu
belajar di sekolah sudah habis. Saatnya para murid pulang ke rumah masing-masing
dan mempelajarir kembali pelajaran yang telah di ajarkan guru-guru mereka tadi.
Awan berjalan santai menuju sepedanya yang ia parkir di halaman sekolah.
Awan
hanya menggeleng-gelengkan kepala saat ia melihat ban sepedanya kempes. “Ini
pasti ulah Mentari. Ya udahlah.” Gumam Awan. Ia langsung memegang sepedanya dan
menuntunnya. Sepeda yang kempes, tidak mungkin bisa dinaiki. Awan harus
memompanya terlebih dahulu.
Sampai
di depan pinter gerbang. Awan mendapati Mentari sedang berdiri di sana. Ia
tertawa terbahak-bahak melihat Awan sedang menuntun sepedanya.
“Hahaa
rasain!. Jalan kaki kaann pulangnya. Hahaaa.” Tawa Mentari
“Ngga
papa ko Mentari. Itung-itung aku olahraga.” Ucap Awan.
Mendengar
jawaban Awan, Mentari menjadi kesal dan marah.
“Eh
Awan!. Kenapa sih kamu ngga pernah bales aku kalo aku ngejailin kamu?. Kenapa
sih kamu ngga pernah marah sama aku kalo aku ngejailin kamu?. Kenapa kamu ngga
pernah ngajak ribut aku kalo aku ngeselin kamu?. Kamu takut?. Takut dimarahin
mama papa aku?. Aku aja yang perempuan berani sama kamu.” ucap Mentari geram.
“Mama
aku selalu bilang, kalo aku ngga boleh berlaku kasar sama semua orang.” Jawab
Awan.
“Aaahh
bilang aja kamu ngga berani sama aku.”
Saat
Mentari sedang bertengkar dengan Awan, ada sebuah motor yang menghampiri
mereka. Itu adalah motor pak Sabar. Wali kelas mereka.
“Hei
kalian itu, selalu saja bertengkar. Kamu Mentari, apa nda bosen toh ngejailin
Awan terus?. Awan ini anaknya baik loh nak.” Pak Sabar geram juga melihat
Mentari menjaili Awan terus. Berbagai tindakan sering dilakukan Mentari
terhadap Awan, namun syukurnya Awan anak baik, ia tidak pernah membalas Mentari
yang memang agak nakal. Pernah orang tua Mentari dipanggil ke sekolah untuk mendengar
perlakuan anaknya itu. Namun selalu saja pembantunya yang datang dengan alasan
mereka tidak bisa meninggalkan pekerjaan.
“Sudah
kalian pulang, besok bapak tidak mau melihat kalian bertengkar lagi. Kamu
Mentari, supir kamu sudah nunggu kamu di sana. Awan, mau bapak carikan taksi
atau tidak?.”
“Ngga
usah pak. Di sebrang sana ada bengkel ko.”
“Ya
sudah kalau gitu. Ingat!, Mentari, cobalah berteman dengan Awan. Bapak pulang
duluan ya.”
“Iya
pak.” Jawab Awan sopan.
-0-
Hari
ini pelajaran Bahasa Indonesia. Bu Nuri, guru Bahasa Indonesia, memberikan
tugas kelompok untuk membuat dongeng. Mentari sangat kesal saat tahu ia
sekelompok dengan Awan.
“Bu,
kenapa sama Awan?. Aku ngga mau sama Awan.” Mentari memanyunkan bibirnya gemas.
“Kamu
kan suka ribut terus sama Awan, ibu menjadikan kalian satu kelompok supaya
kalian bisa lebih saling mengenal dan bekerja sama dengan baik.” Jelas bu Nuri.
“Kan
bisa sama yang lain bu. Kalau nanti rumah aku kotor karna belajar sama Awan
gimana?.” Elak Mentari.
“Kamu
belajar di rumah Awan.”
“Tapi,
bu...”
“di
sana, kamu akan tahu, bagaimana kehidupan Awan yang sesungguhnya.”
Awan
hanya diam saja mendengar percakapan antara bu Nuri dan Mentari.
Setelah
lama membujuk Mentari, akhirnya ia mau juga sekelompok dengan Awan dan
mengerjakan Pekerjaan Rumah di rumah Awan. Dengan satu syarat kalau Bunga juga
harus sekelompok dengannya.
-0-
Hari
sudah siang. Anak-anak Sekolah Dasar 45 mulai berhamburan keluar kelas saat bel
pulang berbunyi.
Mentari,
kamu jadi ngerjain Pekerjaan Rumah kita di rumah aku sekarang?.” Tanya Awan
kepada Mentari saat mereka berpapasan di depan pintu kelas.
“Yaaa
mau gimana lagi?. Aku tunggu Bunga dulu. Dan satu lagi. Aku sama Bunga naik
mobil. Dan kamu, tetep naik sepeda. Ntar supir aku yang anterin aku sama Bunga
ke rumah kamu.” Kata Mentari jutek.
“Hari
ini aku ngga bawa sepeda. Sepeda aku rusak. Kita ke rumah aku naik taksi aja
ya.”
“Naik
taksi?. Terus aku bayarin kamu gitu?. Iiihhh keenakan!.”
“Aku
yang bayar.”
Awalnya,
Mentari berpikir kalau Awan berbohong padanya. Ternyata benar, setelah taksi
berhenti di depan sebuah rumah yang sangat mewah bak istana, Awan meminta
Mentari dan Bunga untuk turun. Ia langsung membayar taksi dengan uang dua
ratusan.
“Kembaliannya
buat bapak aja. Makasih ya pak.” Ucap Awan sopan kepada pengemudi taksi.
“Ayo
Bunga, Mentari, kita masuk.” Kata Awan kemudian.
“Waaahhh
orang tua kamu jadi pembantu di sini Wan?. Rumahnya bagus banget.” Bunga
terkagum-kagum melihat rumah yang ada di depannya. Rumah yang lebih besar
daripada rumah Mentari.
Awan
hanya tersenyum. Sedangkan Mentari diam saja. Tidak ada satu katapun yang
keluar dari mulutnya.
Beberapa
menit kemudian, datang seorang satpam dan segera membukakan gerbang untuk Awan
dan teman-temannya. “Makasih pak Udin.” Kata Awan ramah.
Mereka
bertiga langsung masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang santai. Ruangan yang
sangat indah. Jika melihat ke kanan, terlihat ada sebuah kolam renang yang
besar. Dan jika melihat ke kiri, terlihat sebuah taman yang asri.
“Bi,
tolong bikinin minum buat temen aku ya.” Ucap Awan kepada pembantu di rumahnya.
“Kalian
mau minum apa?.” Awan melihat kedua temannya itu bungkam seribu bahasa.
“Bunga?,
Mentari?.”
“Eee
i..iyyaaa aku jus mangga.” Ucap Bunga gugup.
“Kamu
mentari?.”
“Ju..
jus jeruk aja.”
“Ya
udah bi, jus mangga satu sama orange jusnya dua yah.” Pembantu itupun berlalu
pergi ke dapur setelah ia mengangguk sopan sambil tersenyum.
“Awan,
jelasin sama aku, ini rumah siapa?.” Tanya Mentari.
“Ini
rumah orang tua aku.” Dengan santai, Awan menjawab pertanyaan Mentari.
“Sebentar ya.” Lanjutnya. Lalu Awan pergi meninggalkan Mentari dan Bunga yang
sedang kebingungan.
Beberapa
menit kemudian Awan datang dengan membawa sebuah laptop dan tab.
“Kita
cari dulu di internet, judul yang bagus kira-kira apa ya?.” Kata Awan kemudian.
“Awan,
ini apa-apaan?. Ko bisa?.” Mentari masih bingung dengan semua yang ia lihat.
“Iya
Mentari, ini adalah rumah orang tuaku. Mereka adalah pengusaha di beberapa
negara. Jelas Awan.
“Tapi
kamu...”
“Aku
dan orang tuaku sangat cinta dengan negara kami. Lagipula, aku lebih suka
bermain congklak daripada main games di tab ini. Penampilan aku selama ini yang
sederhana, dan selalu membawa sepeda ke sekolah, itu karena aku mengurangi
polusi di tempat kita berada ini. Sekalian aku olahraga juga. Laptop sama tab
aku ini biasanya aku gunain buat cari penjelasan tentang pelajaran yang aku
belum ngerti di sekolah.” Awan menjelaskan semuanya kepada Mentari dan Bunga.
“Kenapa
begitu?.” Tanya Bunga.
“Aku
ngga mau budaya kita hilang, dan di ganti sama budaya luar. Lagipula, permainan
tradisional juga menarik ko. Satu lagi, produk-produk yang di buat di Indonesia
juga bagus-bagus. Ngga kalah sama barang-barang punya Mentari. Barang di sini
kebanyakan dari produk Indonesia. Laptop ma tab, keduanya aku gunain buat
belajar. Aku emang kolot sama bdaya, tapi aku juga ngikutin arus zaman.”
Mentari
dan Bunga sangat kaget dengan jawaban Awan. Mereka kagum dan menyesal telah
memandang Awan jelek. Benar kata bu Nuri. Di rumah Awan ini, Mentari dan Bunga
akan tahu yang sebenarnya. Mentari dan Bunga meminta maaf kepada Awan. Dan
mulai saat itu, mereka berteman. Mentari juga sudah mulai berubah, sudah tidak
nakal seperti kemarin lagi. Awan menyadarkan Mentari, kalau ada banyak cara
untuk mengekspresikan kecintaan kita kepada tanah air. Contohnya, seperti yang
selama ini Awan lakukan. Terima kasih Awan.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar