Minggu, 01 Februari 2015

Lidya Richmy Ariani Richard 2013070114 ( TUGAS VERSI UBAHAN )

TAMPE RUMA SANI

Alkisah pada zaman dulu, tinggallah seorang anak perempuan bernama Tampe Ruma Sani. Semua orang di kampungnya mengenal dia, sebab setiap hari ia menjajakan ikan hasil tangkapan ayahnya. Ibunya sudah meninggal. Di rumahnya ia tinggal bersama ayah dan adik laki-lakinya yang masih kecil. Ia memasak nasi untuk ayah dan adiknya. Kasihan Tampe Ruma Sani yang masih kecil itu harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa.
Pada suatu hari, seorang janda menyapa Tampe Rurna Sani, “Sudah habis ikanmu Nak? Tiap hari saya lihat ikanmu cepat habis, apa rahasianya?”
“Saya menjual lebih murah dari yang lain, agar cepat habis, karena saya harus segera pulang menanak nasi untuk ayah dan adik saya. Juga pekerjaan rumah tangga yang lain harus saya kerjakan”, jawab Tampe Rurna Sani sambil berjalan cepat.
“Siapa nama adikmu?”
“Mahama Laga Ligo”, jawab Tampe Rurna Sani. “Mengapa bukan adikmu yang memasak?”
“Adikku masih kecil, belum bisa memasak.” Bermacam-macam pertanyaan janda itu kepada Tampe Ruma Sani.
“Sampaikan salamku kepada ayahmu! Aku mau membantu kalian dan tinggal di rumah ayahmu. Aku mau membuat tembe (sarung), sambolo (destar) dan ro sarowa (celana) untuk ayahmu”, kata janda itu dengan manis.
“Baik Bu, akan saya sampaikan kepada ayah.” Singkat cerita janda itu kini telah kawin dengan ayah mereka, dan menjadi ibu tirinya Kini Tampe Ruma Sani lidak lagi memasak. Pekerjaannya hanya menjajakan ikan saja. Sekali-sekali ikut menumbuk padi. Setiap menumbuk padi, ibunya selalu berpesan agar beras yang utuh dipisahkan dengan yang hancur.
Pada mulanya, ibu tirinya sangat baik kepada Tampe Ruma Sani dan adiknya. Namun, lama-kelamaan sikapnya berubah. Tampe Rurna Sani dan Mahama Laga Ligo mendapat perlakuan yang kurang baik, lebih-lebih kalau ayahnya tidak berada di rumah.
Pada suatu hari, ayahnya baru pulang menangkap ikan. Sang ibu tiri segera menyiapkan makanan yang enak-enak untuknya. Sedang untuk anak ttrinya disediakan nasi menir (nasi dari beras yang hancur kecil-kecil). Melihat hal itu, Tampe Ruma Sani memberanikan diri lapor kepada ayahnya, “Ayah dan ibu makan nasi yang bagus dan ikannya yang enak-enak, sedang saya dan adik nasinya kecil-kecil dan tidak ada ikannya”. Mendengar hal itu ayahnya bertanya, “Mengapa makanan anak-anak berbeda dengan makanan kita Bu?”
“Oo tidak Pak, sebenarnya sama saja, lihatlah sisa makanan yang ada di kepala Mahama Laga Ligo,” jawab istrinya.
Sebenarnya nasi yang ada di kepala Mahama Laga Ligo sengaja ditaruh oleh ibu tirinya menjelang ayahnya datang. Hal yang demikian telah dilakukan berkali-kali. Ibunya sangat marah kepada Tampe Ruma Sani yang berani melaporkan kepada ayahnya. Setelah suaminya pergi, sang ibu tiri menghajar Tarnpe Ruma Sani sampai babak belur. Tampe Ruma Sani menangis sejadi-jadinya. Melihat kakaknya dihajar, Mahama Laga Ligo pun ikut menangis.
“Kalau kalian berani melapor kepada ayahmu akan kubunuh kalian!” ancamnya.
Perlakuan kasar telah biasa diterima oleh kedua anak itu. Mereka tidak berani melaporkan kejadian itu kepada ayahnya, karena takut ancaman ibu tirinya
Kini kedua anak itu sudah besar dan menginjak dewasa. Kakak beradik itu bermaksud pergi meninggalkan orang tuanya untuk mencari nafkah sendiri, karena tidak tahan lagi menerima siksaan ibu tirinya. Maksud itu pun disampaikan kepada ayahnya, “Ayah, kami sekarang sudah besar, ingin pergi mencari pengalaman. Oleh karena itu, izinkanlah saya dan Mahama Laga Ligo pergi”.
“Mengapa engkau mau meninggalkan rumah ini? Tetaplah di sini. Rumah ini nanti akan sepi.” kafa ayahnya. Ibu tirinya segera menyahut, “Benar kata Tampe Ruma Sani. Dia kini sudah besar. Bersama adiknya tentu ingin mandiri. Maka sebaiknya ayah mengizinkan mereka pergi.” Ibu tirinya memang sudah tidak senang dengan anak-anak tirinya yang dirasa sangat mengganggu.
Akhirnya, ayahnya pun dengan berat mengizinkan, berkat desakan istrinya yang terus-menerus.
Pagi hari sesudah sholat subuh, kedua anak itu meninggalkan rumahnya. Ibu tirinya memberi bekal nasi dalam bungkusan. Ayahnya mengantarkan sampai ke batas desa.
Alkisah, kedua anak itu berjalan menyusuri hutan dan sungai. Sesekali mereka membicarakan ibu tirinya yang kejam. Sesekali juga membicarakan ayahnya yang kena pengaruh ibu tirinya. Setelah seharian berjalan, Mahama Laga Ligo merasa capai.
“Kak, saya capai dan lapar. Istirahat dulu ya Kak”, katanya dengan nada menghimbau.
“Bolehlah. Kita cari dulu tempat yang teduh, lalu kita makan bekal yang diberikan ibu tadi,” kata kakaknya. Ketika mau duduk dekat adiknya yang mulai membuka bekalnya, tercium bau kotoran.
“Pindah dulu, di sekitar sini ada kotoran, kata Tampe Ruma Sani, sambil mengamati di mana kotoran itu berada. Namun, di sekitar tempat itu bersih. Lalu ia duduk lagi dan meneruskan membuka bekal yang dipegang adiknya. Ketika bekal itu dibuka bau itu tercium lebih keras. Akhinya, tahulah sumber bau itu. Bau itu temyata berasal dari bekal yang dibawanya. Rupanya ibu tirinya sangat jahat, sehingga sampai hati memberi bekal yang dicampuri kotoran manusia. Lalu, bungkusan itu pun dibuang, dengan perasaan marah dan sedih.
Dengan mengikat perutnya kencang-kencang, kedua kakak beradik itu pun melanjutkan perjalanan. Setelah beberapa lama herjalan, dilihatnya sebuah rumah di tengah hutan. Kedua anak itu merasa senang. Segeralah keduanya menaiki tangga dan mengetuk pintu. Namun, setelah beberapa saat tidak terdengar jawaban. Diketuknya sekali lagi, tetap tiada jawaban. Lalu, keduanya mendorong pintu rumah itu sedikit demi sedikit. Ternyata pintu itu tidak dikunci. Dengan perlahan-lahan, ia memeriksa seluruh penjuru rumah, temyata rumah itu tidak ada penghuninya. Di sebuah sudut rumah itu ada tiga buah karung. Setelah diperiksa, ternyata karung itu berisi merica, cengkih, dan pala. Di atas meja tersedia makanan. Di sekitar rumah ditumbuhi rumput yang tinggi, yang tampak tidak pernah dijamah manusia maupun binatang.
“Mari kita duduk di dalam rumah menunggu pemiliknya” kata Tampe Ruma Sani kepada adiknya.
Mereka duduk-duduk. Tak berapa lama, karena kecapaian, mereka tertidur. Pada saat terbangun hari telah pagi. Penghuni rumah itu belum juga muncul. Makanan di atas meja masih tetap utuh. Mereka heran, makanan itu masih hangat. Karena kelaparan, makanan itu pun mereka makan sampai habis.
Tiga hari sudah mereka berada di rumah itu. Setiap mereka bangun pagi, makanan hangat telah tersedia. Mereka semakin terheran-heran, namun tidak mampu berpikir dari mana semuanya itu.
Untuk menjaga kemungkinan makanan tidak tersedia lagi, mereka bermaksud menjual rempah-rempah dalam karung itu. Pada hari keempat, Maharna Laga Ligo berkata kepada kakak perempuannya, “Kak, biarlah saya yang menjual rempah-rempah ini sedikit demi sedikit ke pasar. Sementara saya pergi, kakak di dalam rumah saja. Kalau ada orang datang, jangan sekali-sekali kakak membukakan pintu”.
“Baiklah, pergilah, tetapi jangan lama-lama”, jawab kakaknya.


  Pergilah Mahama Laga Ligo ke pasar untuk menjual rempah-rempah tersebut. Sementara Tampe Ruma Sani sendirian di dalam rumah. Sambil menunggu adiknya datang, Tampe Ruma Sani melamun dan merasa rindu akan ayahnya, mengapa ayahnya begitu terpengaruh dengan ibu tirinya?. Sedangkan dulu sebelum ibu tirinya menikah dengan ayahnya, mereka hidup bahagia bertiga walauoun Tampe Ruma Sani harus mengerjakan pekerjaan rumah.

  Ditengah lamunannya ia tersadar, sudag hampir gelap adiknya tak kundung pulang. Ia sangat khawatir dengan adiknya, ia takut terjadi sesuatu dengan adiknya. Namun, kekhawatirannya itu tak berlangsung lama, adiknya pun pulang dengan membawa sayur mayur yang akan dimasaknya untuk makan malam mereka.

   Sedang asik mereka memasak, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar. Tampe Ruma Sani dan Mahama Laga Ligo pun bertanya-tanya siapa yang datang?sedangkan selama ia tinggal dirumah tersebut tidak ada orang yang tahu, dan tidak pernah ada satu orang pun yang pernah ia temui.
   Pintu diketuk semakin keras, akhirnya Tampe Ruma Sani dan Mahama Laga Ligo membukakan pintu. Ia sangat terkejut, ternyata yang datang adalah seorang pemuda yang mereka tidak kenal dengan wanita tua yang tak asing adalah ibu tirinya.

   " Mungkin kalian tidak mengenalku, aku Jiwon dari desa sebeleh tempat dimana kalian tinggal dulu, aku mendengar kabar bahwa ibu tiri kalian mencari kalian, dikarenakan ayah kalian sedang sakit keras. Aku yang sedang berada di pasar tadi, tak sengaja melihat Mahama Laga Ligo yang sedang menjual rempah-rempah. Diam-diam Laga Ligo aku buntuti, setelah aku tahu dimana kalian tinggal sekarang, aku langsung mengunjungi rumahmu dam memberi tahu kepada ayah dan ibumu tentang keberadaan kalian" Cerita singkat Si pemuda yang baru dikenalnya.

   " Bagaimana keadaan Ayah Bu..?" Tanya Tampe Ruma Sani kepada ibu tirinya.

  " Maafkan ibu Sani, maafkan ibu Ligo.. Ibu sudah jahat kepada kalian. Sekarang ayahmu sakit keras, setiap hari selalu menanyakan kalian. Ibu bingung harus mencari kalian kemana. Ibu hanya bisa meminta tolong kepada warga sekitar, bila ada yang melihat keberadaan kalian untuk segera hubungi ibu dan ayah. Ketika tadi ibu sedang mengelapi badan ayahmu, Jiwon datang dan memberi tahu keberadaan kalian. Ayahmu yang mendengar kabar itu langsung meminta ibu untuk menemui kalian dan membawa kalian pulang untuk tinggal bersama seperti dulu lagi"

Mendengar hal itu, Tampe Ruma Sani dan Mahama Laga Ligo meneteskan air mata dan segera bersiap-siap pulang untuk melihat keadaan ayahnya.

   " Sudahlah bu, yang sudah terjadi biarlah berlalu. Sekarang aku dan Ligo akan pulang dan kita akan berkumpul kembali seperti dulu " Ucap Tampe Ruma Sani.

   Akhirnya mereka berempat pun kembali ke desanya, Jiwon turut serta mengantarkan sampai rumah. Sesampainya dirumah, Tampe Ruma Sani dan Mahama Laga Ligo pun langsung menemui ayahnya dikamar. Ayahnya sangat gembira, anaknya kembali pulang dan bisa berkumpul lagi seperti dulu. Ibu tirinya pun sudah tidak jahat lagi, keadaan ayah mereka pun sudah mulai membaik seperti sedia kala.

  Hari terus berlalu, ketika mereka sedang berkumpul, tiba-tiba ayah berbicara kepada Tampe Ruma Sani.

" Nak, apa kamu masih ingat pemuda yang tempo hari yang mengantar ibumu untuk bertemu dengan kalian?" tanya ayahnya. 
"Ya ayah, aku ingat. Kalau tidak salah Jiwon namanya" Jawab Tampe Ruma Sani
"Ya, betul nak. Ia adalah anak dari pengusaha tembakau di desa sebelah. Tadi, ketika ayah hendak pulang dari pasar, Jiwon dan ayahnya menghampiri ayah dan berkata bahwa Jiwon akan melamarmu. Apa kamu bersedia nak?"
"Ayah, kalau menurutmu Jiwon adalah pemuda yang baik, aku akan menerimanya" Jawab Tampe Ruma Sani
"Baiklah, aku tau Jiwon pemuda yang baik. Akan ku restui bila kau menikah dengannya"

   Selang beberapa hari kemudian Jiwon dan keluarganya datang kerumah Tampe Ruma Sani dan bermaksud untuk melamar Tampe Ruma Sani. Dengan senang hati Tampe Ruma Sani langsung menerima lamaran Jiwon. 

  Dan beberapa bulan kemudian Tampe Ruma Sani dan Jiwon pun menikah, mereka hidup bahagia dan dikaruniai sepasang putra putri.

1 komentar: