Senin, 02 Februari 2015

SITI KUSMAINAWATI (CERPEN UBAHAN TAMPE RUMA SANI)


TAMPE RUMA SANI
Cerita ini berasal dari Dompu, salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Barat.
Alkisah pada zaman dulu, tinggallah seorang anak perempuan bernama Tampe Ruma Sani. Semua orang di kampungnya mengenal dia, sebab setiap hari ia menjajakan ikan hasil tangkapan ayahnya. Ibunya sudah meninggal. Di rumahnya ia tinggal bersama ayah dan adik laki-lakinya yang masih kecil. Ia memasak nasi untuk ayah dan adiknya. Kasihan Tampe Ruma Sani yang masih kecil itu harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa.
Pada suatu hari, seorang janda menyapa Tampe Ruma Sani, “Sudah habis ikanmu Nak? Tiap hari saya lihat ikanmu cepat habis, apa rahasianya?”
“Saya menjual lebih murah dari yang lain, agar cepat habis, karena saya harus segera pulang menanak nasi untuk ayah dan adik saya. Juga pekerjaan rumah tangga yang lain harus saya kerjakan”, jawab Tampe Rurna Sani sambil berjalan cepat.
“Siapa nama adikmu?”
“Mahama Laga Ligo”, jawab Tampe Rurna Sani. “Mengapa bukan adikmu yang memasak?”
“Adikku masih kecil, belum bisa memasak.” Bermacam-macam pertanyaan janda itu kepada Tampe Ruma Sani.
“Sampaikan salamku kepada Ayahmu! Aku mau membantu kalian dan tinggal di rumah ayahmu. Aku mau membuat tembe (sarung), sambolo (destar) dan ro sarowa (celana) untuk ayahmu”, kata janda itu dengan manis.
“Baik Bu, akan saya sampaikan kepada ayah.” Singkat cerita janda itu kini telah kawin dengan ayah mereka, dan menjadi ibu tirinya. Kini Tampe Ruma Sani tidak lagi memasak. Pekerjaannya hanya menjajakan ikan saja. Sekali-sekali ikut menumbuk padi. Setiap menumbuk padi, ibunya selalu berpesan agar beras yang utuh dipisahkan dengan yang hancur.
Pada mulanya, ibu tirinya sangat baik kepada Tampe Ruma Sani dan adiknya. Namun, lama-kelamaan sikapnya berubah. Tampe Rurna Sani dan Mahama Laga Ligo mendapat perlakuan yang kurang baik, lebih-lebih kalau ayahnya tidak berada di rumah.
Pada suatu hari, ayahnya baru pulang menangkap ikan. Sang ibu tiri segera menyiapkan makanan yang enak-enak untuknya. Sedang untuk anak tirinya disediakan nasi menir (nasi dari beras yang hancur kecil-kecil). Melihat hal itu, Tampe Ruma Sani memberanikan diri lapor kepada ayahnya, “Ayah dan ibu makan nasi yang bagus dan ikannya yang enak-enak, sedang saya dan adik nasinya kecil-kecil dan tidak ada ikannya”. Mendengar hal itu ayahnya bertanya, “Mengapa makanan anak-anak berbeda dengan makanan kita Bu?”
“Oo tidak Pak, sebenarnya sama saja, lihatlah sisa makanan yang ada di kepala Mahama Laga Ligo,” jawab istrinya.
Sebenarnya nasi yang ada di kepala Mahama Laga Ligo sengaja ditaruh oleh ibu tirinya menjelang ayahnya datang. Hal yang demikian telah dilakukan berkali-kali. Ibunya sangat marah kepada Tampe Ruma Sani yang berani melaporkan kepada ayahnya. Setelah suaminya pergi, sang ibu tiri menghajar Tarnpe Ruma Sani sampai babak belur. Tampe Ruma Sani menangis sejadi-jadinya. Melihat kakaknya dihajar, Mahama Laga Ligo pun ikut menangis.
“Kalau kalian berani melapor kepada ayahmu akan kubunuh kalian!” ancamnya.
Perlakuan kasar telah biasa diterima oleh kedua anak itu. Mereka tidak berani melaporkan kejadian itu kepada ayahnya, karena takut ancaman ibu tirinya.
Kini kedua anak itu sudah besar dan menginjak dewasa. Kakak beradik itu bermaksud pergi meninggalkan orang tuanya untuk mencari nafkah sendiri, karena tidak tahan lagi menerima siksaan ibu tirinya. Maksud itu pun disampaikan kepada ayahnya, “Ayah, kami sekarang sudah besar, ingin pergi mencari pengalaman. Oleh karena itu, izinkanlah saya dan Mahama Laga Ligo pergi”.
“Mengapa engkau mau meninggalkan rumah ini? Tetaplah di sini. Rumah ini nanti akan sepi.” kata ayahnya. Ibu tirinya segera menyahut, “Benar kata Tampe Ruma Sani. Dia kini sudah besar. Bersama adiknya tentu ingin mandiri. Maka sebaiknya ayah mengizinkan mereka pergi.” Ibu tirinya memang sudah tidak senang dengan anak-anak tirinya yang dirasa sangat mengganggu.
Akhirnya, ayahnya pun dengan berat mengizinkan, berkat desakan istrinya yang terus-menerus.
Pagi hari sesudah sholat subuh, kedua anak itu meninggalkan rumahnya. Ibu tirinya memberi bekal nasi dalam bungkusan. Ayahnya mengantarkan sampai ke batas desa.
Alkisah, kedua anak itu berjalan menyusuri hutan dan sungai. Sesekali mereka membicarakan ibu tirinya yang kejam. Sesekali juga membicarakan ayahnya yang kena pengaruh ibu tirinya. Setelah seharian berjalan, Mahama Laga Ligo merasa capai.
“Kak, saya capai dan lapar. Istirahat dulu ya Kak”, katanya dengan nada menghimbau.
“Bolehlah. Kita cari dulu tempat yang teduh, lalu kita makan bekal yang diberikan ibu tadi,” kata kakaknya. Ketika mau duduk dekat adiknya yang mulai membuka bekalnya, tercium bau kotoran.
“Pindah dulu, di sekitar sini ada kotoran, kata Tampe Ruma Sani, sambil mengamati di mana kotoran itu berada. Namun, di sekitar tempat itu bersih. Lalu ia duduk lagi dan meneruskan membuka bekal yang dipegang adiknya. Ketika bekal itu dibuka bau itu tercium lebih keras. Akhinya, tahulah sumber bau itu. Bau itu temyata berasal dari bekal yang dibawanya. Rupanya ibu tirinya sangat jahat, sehingga sampai hati memberi bekal yang dicampuri kotoran manusia. Lalu, bungkusan itu pun dibuang, dengan perasaan marah dan sedih.
Dengan mengikat perutnya kencang-kencang, kedua kakak beradik itu pun melanjutkan perjalanan. Setelah beberapa lama berjalan, dilihatnya sebuah rumah di tengah hutan. Kedua anak itu merasa senang. Segeralah keduanya menaiki tangga dan mengetuk pintu. Namun, setelah beberapa saat tidak terdengar jawaban. Diketuknya sekali lagi, tetap tiada jawaban. Lalu, keduanya mendorong pintu rumah itu sedikit demi sedikit. Ternyata pintu itu tidak dikunci. Dengan perlahan-lahan, ia memeriksa seluruh penjuru rumah, ternyata rumah itu tidak ada penghuninya. Di sebuah sudut rumah itu ada tiga buah karung. Setelah diperiksa, ternyata karung itu berisi merica, cengkih, dan pala. Di atas meja tersedia makanan. Di sekitar rumah ditumbuhi rumput yang tinggi, yang tampak tidak pernah dijamah manusia maupun binatang.
“Mari kita duduk di dalam rumah menunggu pemiliknya” kata Tampe Ruma Sani kepada adiknya.
Mereka duduk-duduk. Tak berapa lama, karena kecapaian, mereka tertidur. Pada saat terbangun hari telah pagi. Penghuni rumah itu belum juga muncul. Makanan di atas meja masih tetap utuh. Mereka heran, makanan itu masih hangat. Karena kelaparan, makanan itu pun mereka makan sampai habis.
Tiga hari sudah mereka berada di rumah itu. Setiap mereka bangun pagi, makanan hangat telah tersedia. Mereka semakin terheran-heran, namun tidak mampu berpikir dari mana semuanya itu.
Untuk menjaga kemungkinan makanan tidak tersedia lagi, mereka bermaksud menjual rempah-rempah dalam karung itu. Pada hari keempat, Mahama Laga Ligo berkata kepada kakak perempuannya, “Kak, biarlah saya yang menjual rempah-rempah ini sedikit demi sedikit ke pasar. Sementara saya pergi, kakak di dalam rumah saja. Kalau ada orang datang, jangan sekali-sekali kakak membukakan pintu”.
“Baiklah, pergilah, tetapi jangan lama-lama”, jawab kakaknya.
Tampe Ruma Sani pun mengantarkan kepergian adiknya sampai depan pekarangan rumah. Tampe pun berkata, “Hati-hati adikku sayang, janganlah kau lama perginya. Kakak tak ingin berlama-lama sendirian di rumah ini”. “Iya Kak, aku akan berhati-hati di sana. Kakak jaga diri baik-baik di sini”, sahut Mahama. Tak lama Mahama pergi meninggalkan Kakaknya di rumah itu.
Sudah lama sekali Mahama Laga Ligo pergi ke pasar dan tak kunjung balik, Tampe Ruma Sani pun merasa kesepian dan khawatir pada adiknya. “Kemana adikku, sampai hari ini tidak balik juga ke rumah”, sampai hati Tampe Ruma Sani memikirkan adiknya.
Siang pun berubah menjadi malam. Rumah yang berada di tengah hutan itu mendatangkan  kesunyian amat terdalam. Tampe Ruma Sani tidak bisa tidur, ia selalu memikirkan adiknya. Adiknya yang sendirian di tengah keramaian pasar tanpa dirinya. Ia sangat khawatir takut terjadi sesuatu pada adiknya. Ia sangat menyayangi dan memperdulikan keadaan adiknya. Tak lama Tampe tertidur pulas.
Pagi hari pun menjelang. Tampe Ruma Sani bergegas bangun dan segera membersihkan pekarangan rumah. Rumput-rumput yang sudah panjang dibabat habis olehnya supaya pekarangan rumah itu terlihat bersih. Tampe Ruma Sani sangat bersyukur menemukan dan bisa tinggal di rumah itu. Walaupun rumah itu sangat aneh dan misterius karena tak ada penghuninya yang tiba-tiba setiap pagi makanan sudah terhidang di meja makan.
Hingga suatu ketika, siang itu.. Ada segerombolan prajurit dari kerajaan yang sedang berjalan-jalan dan berburu hewan di hutan. Mereka berjalan-jalan sampai ke tengah hutan dan tak sengaja menemukan sebuah rumah. Mereka sangat heran mengapa ada rumah di tengah hutan seperti ini. Dan anehnya rumah itu terlihat bersih seperti ada penghuninya.
“Ah mana mungkin rumah ini ada penghuninya. Tak ada seorang pun yang berani untuk tinggal di tengah hutan, apalagi hutan ini sangat berbahaya”, salah satu prajurit itu berbicara pada temannya. “Mungkin saja  ada seseorang di dalam rumah itu, buktinya rumah ini terlihat bersih”, sahut temannya.
Tanpa pikir panjang lagi segerombolan prajurit itu pun mendekati rumah itu dan menaiki tangga yang ada di depan rumah. Setelah berada di depan pintu, ia pun mengetuknya. Saat diketuk pintu itu, tak ada jawaban satupun dari dalam rumah. Tampe Ruma Sani tak berani untuk menjawab dan membukakan pintu, ia sangat ketakutan. Tampe Ruma Sani segera keluar lewat pintu belakang, dan bersembunyi di bawah kolong rumah itu. Tak lama, salah satu dari prajurit itu penasaran, dan akhirnya membuka paksa pintu itu.
Prajurit itu masuk dan melihat-lihat seluruh isi rumah. Semuanya digeledah tanpa ada sedikit pun yang terlewatkan. Prajurit itu tak menemukan seorang pun di dalam rumah. Tampe Ruma Sani yang sedang bersembunyi di bawah kolong rumah, tiba-tiba ia bersin “huacuhhhh”. Ia sangat gugup dan takut kalau sampai prajurit itu menemukan dirinya karena suara bersinnya tadi yang begitu menggelegar.
Salah satu dari prajurit itu mendengar dan segera keluar dari rumah itu. Segerombolan prajurit itu berpencar untuk mencari dari mana asal suara itu. Ada yang ke semak-semak, ada pula yang ke belakang rumah, pokoknya mencari ke sekeliling rumah itu. Seorang prajurit itu akhirnya menemukan Tampe Ruma Sani yang sedang bersembunyi di bawah kolong rumah.
Tampe Ruma Sani pun ditarik untuk keluar dari kolng itu. Salah satu dari mereka bertanya “Mengapa kamu bersembunyi di bawah kolong ini?”. Tampe Ruma Sani tidak menjawabnya dan ia semakin ketakutan. “Wahai gadis cantik, tak ada maksud kami untuk menjahatimu dan mencelakakanmu. Kami hanya bertanya padamu. Jawablah pertanyaan kami”.
Karena Tampe Ruma Sani tidak menjawab dan berbicara sepatah kata pun, segerombolan prajurit itu langsung pergi meninggalkannya. Tampe sangat ketakutan, ia berharap adiknya segera pulang dan ia akan menceritakan kejadian hari ini pada adiknya. Langit sudah mulai gelap, adiknya pun belum pulang juga sampai saat ini.  Tampe takut kalau prajurit raja itu akan kembali lagi ke rumah ini.
Matahari pun sudah menjulang tinggi, menandai hari sudah semakin siang. Perkiraan Tampe tepat sekali, segerombolan prajurit datang lagi beserta Raja Bima Angkasa yaitu raja di negeri itu. Tampe pun langsung masuk dan mengunci semua pintu yang ada di rumah itu.
“Mengapa rumah ini terlihat sepi dan tak berpenghuni? Apa kalian membohongiku?”, Raja Bima Angkasa bertanya dengan nada tinggi. Salah satu dari mereka pun menjawab, “Tentu kami tidak membohongimu Raja, ketuk saja pintu itu”.
Sudah berlama-lama Raja dan para prajurit itu mengetuk pintu, tak ada jawaban dari dalam rumah. “Bagaimana kalau pintu ini kita dobrak paksa saja, Raja?”, usul salah satu prajurit.  Raja Bima Angkasa menyetujui usul prajurit itu, dan mereka mendobrak pintu sampai terbuka. Tampe sangat kaget dan ia kembali ketakutan.
Raja Bima Angkasa melihat ada seorang gadis cantik, lalu ia bertanya, “Wahai gadis cantik, janganlah kamu takut dengan ku. Aku adalah Raja di negeri ini. Tentu kedatangan kami di sini tidak akan menjahatimu”. Tampe pun menjawab, “Baiklah Raja aku percaya denganmu”. Raja bertanya lagi, “Mengapa kamu tinggal di rumah ini sendirian? Sangat berbahaya untuk gadis sepertimu tinggal di tengah hutan seperti ini”. “Aku tidak sendirian, Raja. Aku di sini bersama dengan adikku, ia sedang berjualan di pasar dan aku menunggu sampai ia kembali ke rumah ini”. “Siapa nama adikmu?”, Raja bertanya. “Adikku bernama Mahama Laga Ligo, Raja”, sahut Tampe. Raja Bima Angkasa beserta prajuritnya semalaman menginap di rumah itu menjaga Tampe sampai adiknya kembali.
Pagi sudah menjelang. Mahama telah kembali dan ia terlihat heran karena rumahnya itu sangat ramai. Mahama langsung lari ke dalam rumah itu, takut suatu hal terjadi pada kakaknya. Firasat Mahama salah, ia melihat kakaknya baik-baik saja sedang duduk bersama Raja Bima Angkasa.
“Kamu sudah kembali Mahama. Lama sekali kamu pergi meninggalkan kakakmu ini”, kata Raja Bima Angkasa. “Engkau siapa? Dan tahu namaku dari mana? Mereka semua siapa Kak?”, begitu banyak pertanyaan dari Mahama. “Beliau adalah Raja Bima Angkasa, Raja di negeri ini. Dan mereka ini adalah prajurit Raja Bima Angkasa. Mereka semua semalaman menemani kakak sampai kamu kembali. Dan akhirnya kamu kembali lagi untuk menemui kakak”, jawab Tampe.
Begitu lama mereka semua bercengkrama, menceritakan semua hal tentang mereka kepada adiknya Tampe.  Raja Bima Angkasa pun berpikiran akan mengajak mereka ke istananya. Raja tidak tega meninggalkan  Tampe dan Mahama tinggal di rumah, di tengah hutan yang penuh dengan kebahayaan. Raja membujuk supaya mereka berdua mau ikut dengannya. Dan mereka pun mau ikut dan tinggal bersama Raja Bima Angkasa di istananya.
Sampai hati Raja Bima Angkasa mengagumi sosok Tampe yang begitu anggun dan cantik. Membuat Raja Bima Angkasa mencitainya. Raja berpikiran akan menjadikan Tampe Ruma Sani sebagai permaisuri di istananya. Singkat cerita kini Raja Bima Angkasa sudah menikahi Tampe Ruma Sani.
Suatu hari Tampe meminta izin pada Raja, bahwa dirinya ingin sekali bertemu dengan Ayahnya. Raja pun menyetujuinya dan ikut serta dalam perjalanan menuju rumah Ayah Tampe. Sesampainya di rumah Ayahnya, Tampe dan Mahama sangat senang bisa bertemu dengan Ayahnya kembali. Tak lupa juga Tampe mengenalkan Raja Bima Angkasa suamninya  kepada Ayahnya.
Di rumah Ayahnya, tidak terlihat ibu tirinya. Tampe pun bertanya, “Ayah, Ibu kemana? Kok tidak ada dari tadi aku datang?”. “Ibu mu sudah meninggal, Nak. Sekarang Ayah tinggal di rumah ini sendirian”, sahut Ayahnya. Tanpa meminta izin Raja Bima Angkasa, ia pun menawarkan kepada Ayahnya untuk tinggal bersama di istana. Ayahnya Tampe pun tidak menolak dan segera bergegas untuk pergi meninggalkan rumah itu menuju istana Raja Bima Angkasa.
Kini Raja Bima Angkasa, Tampe Ruma Sani, Mahama Laga Ligo beserta Ayahnya hidup dengan penuh kebahagiaan. Kebahagiaan itu bertambah setelah Tampe memiliki seorang  anak lelaki dari hasil pernikahannya dengan Raja Bima Angkasa .
TAMAT

Versi Ubahan Siti Kusmainawati
Tugas Kajian Cerita Anak
Cerita disalin dari http://dongeng.org/tampe-ruma-sani/

2 komentar: