Tugas
Menulis Dongeng (Unpam)
Halo mahasiswa semester 3
Unpam, mohon maaf karena saya terlambat mengunggah tugas menulis cerita anak.
Cerita yang saya unggah berjudul "Tampe Ruma Sani". Cerita ini
berasal dari Nusa Tenggara Barat. Tugas Anda ialah mengubah akhir cerita dan membuatnya
lebih menarik. Anda boleh menambahkan atau menghilangkan tokoh. Bagian yang
diberi tanda merah, merupakan tanda bahwa Anda harus mulai mengubah cerita.
Jangan lupa tulisan diunggah di blog kelas.
Selamat mengerjakan!
TAMPE RUMA SANI
Cerita ini berasal dari
Dompu, salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Barat.
Alkisah pada zaman
dulu, tinggallah seorang anak perempuan bernama Tampe Ruma Sani.
Semua orang di kampungnya mengenal dia, sebab setiap hari ia
menjajakan ikan hasil tangkapan ayahnya. Ibunya sudah meninggal. Di
rumahnya ia tinggal bersama ayah dan adik laki-lakinya yang masih kecil. Ia
memasak nasi untuk ayah dan adiknya. Kasihan Tampe Ruma Sani yang masih kecil
itu harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang seharusnya dikerjakan oleh
orang dewasa.
Pada suatu hari,
seorang janda menyapa Tampe Rurna Sani, “Sudah habis ikanmu Nak? Tiap hari saya
lihat ikanmu cepat habis, apa rahasianya?”
“Saya menjual lebih
murah dari yang lain, agar cepat habis, karena saya harus segera pulang menanak
nasi untuk ayah dan adik saya. Juga pekerjaan rumah tangga yang lain harus saya
kerjakan”, jawab Tampe Rurna Sani sambil berjalan cepat.
“Mahama Laga Ligo”,
jawab Tampe Rurna Sani. “Mengapa bukan adikmu yang memasak?”
“Adikku masih kecil,
belum bisa memasak.” Bermacam-macam pertanyaan janda itu kepada Tampe Ruma
Sani.
“Sampaikan salamku
kepada ayahmu! Aku mau membantu kalian dan tinggal di rumah ayahmu. Aku mau
membuat tembe (sarung), sambolo (destar) dan ro sarowa (celana) untuk ayahmu”,
kata janda itu dengan manis.
“Baik Bu, akan
saya sampaikan kepada ayah.” Singkat cerita janda itu kini telah kawin dengan
ayah mereka, dan menjadi ibu tirinya Kini Tampe Ruma Sani lidak lagi memasak.
Pekerjaannya hanya menjajakan ikan saja. Sekali-sekali ikut menumbuk padi.
Setiap menumbuk padi, ibunya selalu berpesan agar beras yang utuh dipisahkan
dengan yang hancur.
Pada mulanya, ibu
tirinya sangat baik kepada Tampe Ruma Sani dan adiknya. Namun, lama-kelamaan
sikapnya berubah. Tampe Rurna Sani dan Mahama Laga Ligo mendapat perlakuan yang
kurang baik, lebih-lebih kalau ayahnya tidak berada di rumah.
Pada suatu hari,
ayahnya baru pulang menangkap ikan. Sang ibu tiri segera menyiapkan makanan
yang enak-enak untuknya. Sedang untuk anak ttrinya disediakan nasi menir (nasi
dari beras yang hancur kecil-kecil). Melihat hal itu, Tampe Ruma Sani
memberanikan diri lapor kepada ayahnya, “Ayah dan ibu makan nasi yang bagus dan
ikannya yang enak-enak, sedang saya dan adik nasinya kecil-kecil dan tidak ada
ikannya”. Mendengar hal itu ayahnya bertanya, “Mengapa makanan anak-anak
berbeda dengan makanan kita Bu?”
“Oo tidak Pak,
sebenarnya sama saja, lihatlah sisa makanan yang ada di kepala Mahama Laga
Ligo,” jawab istrinya.
Sebenarnya nasi yang
ada di kepala Mahama Laga Ligo sengaja ditaruh oleh ibu tirinya menjelang
ayahnya datang. Hal yang demikian telah dilakukan berkali-kali. Ibunya sangat
marah kepada Tampe Ruma Sani yang berani melaporkan kepada ayahnya. Setelah
suaminya pergi, sang ibu tiri menghajar Tarnpe Ruma Sani sampai babak belur.
Tampe Ruma Sani menangis sejadi-jadinya. Melihat kakaknya dihajar, Mahama Laga
Ligo pun ikut menangis.
“Kalau kalian berani
melapor kepada ayahmu akan kubunuh kalian!” ancamnya.
Perlakuan kasar telah
biasa diterima oleh kedua anak itu. Mereka tidak berani melaporkan kejadian itu
kepada ayahnya, karena takut ancaman ibu tirinya
Kini kedua anak itu
sudah besar dan menginjak dewasa. Kakak beradik itu bermaksud pergi
meninggalkan orang tuanya untuk mencari nafkah sendiri, karena tidak tahan lagi
menerima siksaan ibu tirinya. Maksud itu pun disampaikan kepada ayahnya, “Ayah,
kami sekarang sudah besar, ingin pergi mencari pengalaman. Oleh karena itu,
izinkanlah saya dan Mahama Laga Ligo pergi”.
“Mengapa engkau mau
meninggalkan rumah ini? Tetaplah di sini. Rumah ini nanti akan sepi.” kafa
ayahnya. Ibu tirinya segera menyahut, “Benar kata Tampe Ruma Sani. Dia kini
sudah besar. Bersama adiknya tentu ingin mandiri. Maka sebaiknya ayah
mengizinkan mereka pergi.” Ibu tirinya memang sudah tidak senang dengan
anak-anak tirinya yang dirasa sangat mengganggu.
Akhirnya, ayahnya pun
dengan berat mengizinkan, berkat desakan istrinya yang terus-menerus.
Pagi hari sesudah
sholat subuh, kedua anak itu meninggalkan rumahnya. Ibu tirinya memberi bekal
nasi dalam bungkusan. Ayahnya mengantarkan sampai ke batas desa.
Alkisah, kedua anak
itu berjalan menyusuri hutan dan sungai. Sesekali mereka membicarakan ibu
tirinya yang kejam. Sesekali juga
membicarakan ayahnya yang kena pengaruh ibu tirinya. Setelah seharian berjalan,
Mahama Laga Ligo merasa capai.
“Kak, saya capai dan
lapar. Istirahat dulu ya Kak”, katanya dengan nada menghimbau.
“Bolehlah. Kita cari
dulu tempat yang teduh, lalu kita makan bekal yang diberikan ibu tadi,” kata
kakaknya. Ketika mau duduk dekat adiknya yang mulai membuka bekalnya, tercium
bau kotoran.
“Pindah dulu, di
sekitar sini ada kotoran, kata Tampe Ruma Sani, sambil mengamati di mana
kotoran itu berada. Namun, di sekitar tempat itu bersih. Lalu ia duduk lagi dan
meneruskan membuka bekal yang dipegang adiknya. Ketika bekal itu dibuka bau itu
tercium lebih keras. Akhinya, tahulah sumber bau itu. Bau itu temyata berasal
dari bekal yang dibawanya. Rupanya ibu tirinya sangat jahat, sehingga sampai hati memberi bekal yang dicampuri
kotoran manusia. Lalu, bungkusan itu pun dibuang, dengan perasaan marah dan
sedih.
Dengan mengikat
perutnya kencang-kencang, kedua kakak beradik itu pun melanjutkan perjalanan.
Setelah beberapa lama herjalan, dilihatnya sebuah rumah di tengah hutan. Kedua
anak itu merasa senang. Segeralah keduanya menaiki tangga dan mengetuk pintu.
Namun, setelah beberapa saat tidak terdengar jawaban. Diketuknya sekali lagi,
tetap tiada jawaban. Lalu, keduanya mendorong pintu rumah itu sedikit demi
sedikit. Ternyata pintu itu tidak dikunci. Dengan perlahan-lahan, ia memeriksa
seluruh penjuru rumah, temyata rumah itu tidak ada penghuninya. Di sebuah sudut
rumah itu ada tiga buah karung. Setelah diperiksa, ternyata karung itu berisi
merica, cengkih, dan pala. Di atas meja tersedia makanan. Di sekitar rumah
ditumbuhi rumput yang tinggi, yang tampak tidak pernah dijamah manusia maupun
binatang.
“Mari kita duduk di
dalam rumah menunggu pemiliknya” kata Tampe Ruma Sani kepada adiknya.
Mereka duduk-duduk.
Tak berapa lama, karena kecapaian, mereka tertidur. Pada saat terbangun hari
telah pagi. Penghuni rumah itu belum juga muncul. Makanan di atas meja masih
tetap utuh. Mereka heran, makanan itu masih hangat. Karena kelaparan, makanan
itu pun mereka makan sampai habis.
Tiga hari sudah mereka
berada di rumah itu. Setiap mereka bangun pagi, makanan hangat telah tersedia.
Mereka semakin terheran-heran, namun tidak mampu berpikir dari mana semuanya
itu.
Untuk menjaga
kemungkinan makanan tidak tersedia lagi, mereka bermaksud menjual rempah-rempah
dalam karung itu. Pada hari keempat, Maharna Laga Ligo berkata kepada kakak perempuannya,
“Kak, biarlah saya yang menjual rempah-rempah ini sedikit demi sedikit ke
pasar. Sementara saya pergi, kakak di dalam rumah saja. Kalau ada orang datang,
jangan sekali-sekali kakak membukakan pintu”.
“Baiklah, pergilah,
tetapi jangan lama-lama”, jawab kakaknya.
Dan beberapa saat
kemudian, adiknya datang dengan seorang raja dan beberapa pasukan. Ternyata di
perjalanan, adiknya menolong raja yang terkena bisa ular. Raja itupun ingin
mengucap terimakasih dengan mengantar adik Tampe Ruma Sani pulang. Raja itupun
menyukai Tampe Ruma Sani dan mengajak Tampe Ruma Sani ke istananya untuk
dijadikan permaisuri. Dan adiknya dijadikan panglima istana.
Selamat mengerjakan!
TAMPE RUMA SANI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar