RIMA TIANA 2013070117
TAMPE RUMA SANI
Alkisah
pada zaman dulu, tinggallah seorang anak perempuan bernama Tampe Ruma
Sani. Semua orang di kampungnya mengenal dia, sebab setiap hari ia
menjajakan ikan hasil tangkapan ayahnya. Ibunya sudah meninggal. Di rumahnya
ia tinggal bersama ayah dan adik laki-lakinya yang masih kecil. Ia memasak nasi
untuk ayah dan adiknya. Kasihan Tampe Ruma Sani yang masih kecil itu harus
mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang seharusnya dikerjakan oleh orang
dewasa.
Pada
suatu hari, seorang janda menyapa Tampe Rurna Sani, “Sudah habis ikanmu Nak?
Tiap hari saya lihat ikanmu cepat habis, apa rahasianya?”
“Saya
menjual lebih murah dari yang lain, agar cepat habis, karena saya harus segera
pulang menanak nasi untuk ayah dan adik saya. Juga pekerjaan rumah tangga yang
lain harus saya kerjakan”, jawab Tampe Rurna Sani sambil berjalan cepat.
“Mahama
Laga Ligo”, jawab Tampe Rurna Sani. “Mengapa bukan adikmu yang memasak?”
“Adikku
masih kecil, belum bisa memasak.” Bermacam-macam pertanyaan janda itu kepada
Tampe Ruma Sani.
“Sampaikan
salamku kepada ayahmu! Aku mau membantu kalian dan tinggal di rumah ayahmu. Aku
mau membuat tembe (sarung), sambolo (destar) dan ro sarowa (celana) untuk
ayahmu”, kata janda itu dengan manis.
“Baik Bu,
akan saya sampaikan kepada ayah.” Singkat cerita janda itu kini telah kawin
dengan ayah mereka, dan menjadi ibu tirinya Kini Tampe Ruma Sani lidak lagi
memasak. Pekerjaannya hanya menjajakan ikan saja. Sekali-sekali ikut menumbuk
padi. Setiap menumbuk padi, ibunya selalu berpesan agar beras yang utuh
dipisahkan dengan yang hancur.
Pada
mulanya, ibu tirinya sangat baik kepada Tampe Ruma Sani dan adiknya. Namun,
lama-kelamaan sikapnya berubah. Tampe Rurna Sani dan Mahama Laga Ligo mendapat
perlakuan yang kurang baik, lebih-lebih kalau ayahnya tidak berada di rumah.
Pada
suatu hari, ayahnya baru pulang menangkap ikan. Sang ibu tiri segera menyiapkan
makanan yang enak-enak untuknya. Sedang untuk anak ttrinya disediakan nasi
menir (nasi dari beras yang hancur kecil-kecil). Melihat hal itu, Tampe Ruma
Sani memberanikan diri lapor kepada ayahnya, “Ayah dan ibu makan nasi yang
bagus dan ikannya yang enak-enak, sedang saya dan adik nasinya kecil-kecil dan
tidak ada ikannya”. Mendengar hal itu ayahnya bertanya, “Mengapa makanan
anak-anak berbeda dengan makanan kita Bu?”
“Oo tidak
Pak, sebenarnya sama saja, lihatlah sisa makanan yang ada di kepala Mahama Laga
Ligo,” jawab istrinya.
Sebenarnya
nasi yang ada di kepala Mahama Laga Ligo sengaja ditaruh oleh ibu tirinya
menjelang ayahnya datang. Hal yang demikian telah dilakukan berkali-kali.
Ibunya sangat marah kepada Tampe Ruma Sani yang berani melaporkan kepada
ayahnya. Setelah suaminya pergi, sang ibu tiri menghajar Tarnpe Ruma Sani
sampai babak belur. Tampe Ruma Sani menangis sejadi-jadinya. Melihat kakaknya
dihajar, Mahama Laga Ligo pun ikut menangis.
“Kalau
kalian berani melapor kepada ayahmu akan kubunuh kalian!” ancamnya.
Perlakuan
kasar telah biasa diterima oleh kedua anak itu. Mereka tidak berani melaporkan
kejadian itu kepada ayahnya, karena takut ancaman ibu tirinya
Kini
kedua anak itu sudah besar dan menginjak dewasa. Kakak beradik itu bermaksud
pergi meninggalkan orang tuanya untuk mencari nafkah sendiri, karena tidak
tahan lagi menerima siksaan ibu tirinya. Maksud itu pun disampaikan kepada
ayahnya, “Ayah, kami sekarang sudah besar, ingin pergi mencari pengalaman. Oleh
karena itu, izinkanlah saya dan Mahama Laga Ligo pergi”.
“Mengapa
engkau mau meninggalkan rumah ini? Tetaplah di sini. Rumah ini nanti akan
sepi.” kafa ayahnya. Ibu tirinya segera menyahut, “Benar kata Tampe Ruma Sani.
Dia kini sudah besar. Bersama adiknya tentu ingin mandiri. Maka sebaiknya ayah
mengizinkan mereka pergi.” Ibu tirinya memang sudah tidak senang dengan
anak-anak tirinya yang dirasa sangat mengganggu.
Akhirnya,
ayahnya pun dengan berat mengizinkan, berkat desakan istrinya yang
terus-menerus.
Pagi hari
sesudah sholat subuh, kedua anak itu meninggalkan rumahnya. Ibu tirinya memberi
bekal nasi dalam bungkusan. Ayahnya mengantarkan sampai ke batas desa.
Alkisah,
kedua anak itu berjalan menyusuri hutan dan sungai. Sesekali mereka membicarakan ibu tirinya yang kejam.
Sesekali juga membicarakan ayahnya yang kena pengaruh ibu tirinya. Setelah
seharian berjalan, Mahama Laga Ligo merasa capai.
“Kak,
saya capai dan lapar. Istirahat dulu ya Kak”, katanya dengan nada menghimbau.
“Bolehlah.
Kita cari dulu tempat yang teduh, lalu kita makan bekal yang diberikan ibu
tadi,” kata kakaknya. Ketika mau duduk dekat adiknya yang mulai membuka
bekalnya, tercium bau kotoran.
“Pindah
dulu, di sekitar sini ada kotoran, kata Tampe Ruma Sani, sambil mengamati di
mana kotoran itu berada. Namun, di sekitar tempat itu bersih. Lalu ia duduk
lagi dan meneruskan membuka bekal yang dipegang adiknya. Ketika bekal itu
dibuka bau itu tercium lebih keras. Akhinya, tahulah sumber bau itu. Bau itu
temyata berasal dari bekal yang dibawanya. Rupanya ibu tirinya sangat jahat,
sehingga sampai hati memberi bekal yang dicampuri kotoran manusia. Lalu,
bungkusan itu pun dibuang, dengan perasaan marah dan sedih.
Dengan
mengikat perutnya kencang-kencang, kedua kakak beradik itu pun melanjutkan
perjalanan. Setelah beberapa lama herjalan, dilihatnya sebuah rumah di tengah
hutan. Kedua anak itu merasa senang. Segeralah keduanya menaiki tangga dan mengetuk
pintu. Namun, setelah beberapa saat tidak terdengar jawaban. Diketuknya sekali
lagi, tetap tiada jawaban. Lalu, keduanya mendorong pintu rumah itu sedikit
demi sedikit. Ternyata pintu itu tidak dikunci. Dengan perlahan-lahan, ia
memeriksa seluruh penjuru rumah, temyata rumah itu tidak ada penghuninya. Di
sebuah sudut rumah itu ada tiga buah karung. Setelah diperiksa, ternyata karung
itu berisi merica, cengkih, dan pala. Di atas meja tersedia makanan. Di sekitar
rumah ditumbuhi rumput yang tinggi, yang tampak tidak pernah dijamah manusia
maupun binatang.
“Mari
kita duduk di dalam rumah menunggu pemiliknya” kata Tampe Ruma Sani kepada
adiknya.
Mereka
duduk-duduk. Tak berapa lama, karena kecapaian, mereka tertidur. Pada saat
terbangun hari telah pagi. Penghuni rumah itu belum juga muncul. Makanan di
atas meja masih tetap utuh. Mereka heran, makanan itu masih hangat. Karena
kelaparan, makanan itu pun mereka makan sampai habis.
Tiga hari
sudah mereka berada di rumah itu. Setiap mereka bangun pagi, makanan hangat
telah tersedia. Mereka semakin terheran-heran, namun tidak mampu berpikir dari
mana semuanya itu.
Untuk
menjaga kemungkinan makanan tidak tersedia lagi, mereka bermaksud menjual
rempah-rempah dalam karung itu. Pada hari keempat, Maharna Laga Ligo berkata
kepada kakak perempuannya, “Kak, biarlah saya yang menjual rempah-rempah ini
sedikit demi sedikit ke pasar. Sementara saya pergi, kakak di dalam rumah saja.
Kalau ada orang datang, jangan sekali-sekali kakak membukakan pintu”.
“Baiklah,
pergilah, tetapi jangan lama-lama”, jawab kakaknya.
-0-
Sambil
menunggu adiknya, Tampe Ruma Sani duduk melamun di dalam rumah. Selain takut
karena ia hanya sendiri di tengah hutan seperti ini, ia juga sedih, mengingat
apa yang selama ini dilakukan oleh ibu tirinya terhadap dirinya dan Maharna
Laga Ligo.
Beberapa
meter dari rumah yang didiami Tampe Ruma Sani, ada seorang Raja muda yang
sedang terluka parah. Saat itu ia sedang berburu. Memburu binatang buas adalah
hobi sang raja tersebut. Tapi kali ini, seekor macan telah berhasil mencakar
dadanya. Racun dari cakar macan, membuat sang raja lemas dan tidak berdaya. Ia
terus berteriak meminta tolong. Namun nihil, tidak ada orang di sana. Saat itu,
raja berburu dalam penyamaran, agar tidak ada musuh yang mengetahuinya sedang
berada di luar kerajaan. Dan dia, tidak membawa satu prajuritpun.
Raja
terus berjalan dan meminta tolong, namun ia justru tersesat kedalam hutan. Saat
itu, ada sedikit perasaan lega di hati Raja ketika ia melihat ada sebuah rumah
di sana. Dengan tubuh yang lemas, raja tersebut berjalan menuju rumah itu.
mengetuknya dan berharap ada yang tinggal di dalam rumah itu. ia sangat butuh
pertolongan.
Sedangkan
di dalam, Tampe Ruma Sani sangat ketakutan. Ia takut, kalau itu adalah orang
jahat yang ingin menculiknya. Ia duduk di pojok rumah dan berharap adiknya
cepat pulang. sedangkan sang raja, duduk di depan pintu rumah. Ia sudah tidak
mampu bergerak.
Akhirnya,
Maharna Laga Ligo pulang juga ke rumah setelah berjualan di pasar.ia kaget saat
melihat seseorang tengah duduk di depan rumah sambil meringis kesakitan.
Dadanya terluka parah. Banyak darah keluar dari luka itu. Maharna Laga Ligo
langsung membantu orang itu dan merangkulnya agar ia tidak jatuh.
“Kakak,
ini aku Maharna Laga Ligo. Cepat bukakan pintu, ada orang yang sangat terluka
parah disini ka.” Akhirnya Tampe Ruma Sani membukakan pintu. Ia sangat lega
karena adiknya telah pulang. Namun Tampe Ruma Sani kaget ketika melihat Maharna
Laga Ligo bersama seseorang yang sepertinya sudah terluka parah.
“Astaga!.
Apakah orang yang meminta tolong tadi adalah orang ini?.” Ada sedikit
penyesalan di wajah Tampe Ruma Sani.
“Aku
melihatnya di depan pintu kak, dia sangat kesakitan.” Ucap Maharna Laga Ligo
menjelaskan.
“Maafkan
aku Tuan, aku kira kau orang jahat yang berpura-pura meminta tolong, lalu
menculikku setelah aku membukakan pintu untukmu.” Tampe Ruma Sani dan Maharna
Laga Ligo tidak tahu, bahwa orang yang bersamanya saat ini adalah seorang Raja.
Hari-hari
telah berlalu, Tampe Ruma Sani dengan sabar menjaga dan merawat sang Raja.
Bahkan hingga saat ini, dia dan adiknya tidak tahu bahwa Raja sedang dalam
penyamaran. Tiap hari, Maharna Laga Ligo pergi ke pasar untuk menjual bahan
makanan yang ada di rumah. Anehnya, meski setiap hari dijual, bahan-bahan
makanan itu tidak pernah habis. Sedangkan Tampe Ruma Sani terus menjaga dan
merawat sang Raja. Bahkan mereka terlihat semakin akrab. Tanpa segan, Tampe
Ruma Sani menceritakan apa yang ia dan adiknya alami dari sejak ia kecil hingga
mengapa ia berada di rumah ini. Mendengar cerita Tampe Ruma Sani, sang Raja
sangat marah. Namun ia harus bisa menahan emosi. Sampai ia benar-benar sembuh,
ia akan kembali ke kerajaan dan memberi pelajaran kepada ibu tiri Tampe Ruma
Sani.
-0-
Hari ini,
raja memutuskan untuk pulang. ia merasa sudah sehat dan lebih baik. Sang Raja
sangat berterima kasih kepada Tampe Ruma Sani dan Maharna Laga Ligo. Setelah
sampai di keraannya nanti, Raja bertekad untuk membicarakan masalah ini kepada
perdana mentri dan memberikan hukuman yang pantas untuk ibu tiri mereka.
Dan hari
ini, akhirnya kebenaran terungkap juga. Ayah dan ibu tiri Tampe Ruma Sani dan
Maharna Laga Ligo dipanggil ke kerajaan untuk memberikan penjelasan.
“Saya
sangat sayang kepada mereka berdua Raja, meskipun mereka adalah anak tiri
saya.” Ibu tiri Tampe Ruma Sani dan Maharna Laga Ligo masih saja mengelak meski
sudah di desak raja untuk jujur. Sedangkan sang ayah, hanya diam kebingungan.
“Kalau
begitu, saya akan panggil Tampe Ruma Sani dan Maharna Laga Ligo ke ruang sidang
istana untuk menjelaskan semuanya.” Kata sang Raja dengan tegas. Dan akhirnya,
datanglah Tampe Ruma Sani dan Maharna Laga Ligo ke ruang sidang istana.
“Tampe
Ruma Sani, jelaskan apa saja yang telah dilakukan ibu tirimu kepadamu dan
adikmu selama ini?. Tidak perlu takut. Katakan dengan jujur.” Ucap raja.
Awalnya
Tampe Ruma Sani ragu untuk menceritakan semuanya, karena ibu tirinya menatapnya
dengan tajam. Namun ia juga lelah menghadapi ibu tirinya yang jahat itu,
akhirnya ia menceritakan semuanya. Tentang ibunya yang selama ini memberikan ia
dan adiknya makan dengan nasi menir dan tanpa lauk. Tentang ibunya yang selalu
memukul dan berlaku kasar padanya dan adiknya. Tentang ibunya yang mengancam
akan membunuh mereka jika berani mengadu kepada ayahnya. Tentang ibunya yang
memberikan ia bekal yang dicampur dengan kotoran manusia. Dan masih banyak
lagi. Ayah mereka sangat terkejut. Ia sangat kecewa dengan istrinya.
Setelah
tahu semuanya, Raja memutuskan untuk memenjarakan ibu tiri Tampe Ruma Sani dan
Maharna Laga Ligo. Ayahnya sangat marah kepada istrinya itu. Sedangkan Tampe
Ruma Sani dan Maharna Laga Ligo terus meminta maaf kepada Raja karena tidak
mengenalinya dalam penyamaran. Dan mengucap banyak terima kasih karena raja
telah menyelamatkan hidupnya.
Akhirnya,
Tampe Ruma Sani dan Maharna Laga Ligo pulang bersama ayahnya dengan bahagia.
Dan mereka bertiga, hidup bahagia selamanya.
TAMAT
Cukup baik karena mampu menghubungkan dengan cerita di atasnya hanya saja kurang kejutan. Terus menulis!
BalasHapusTerima kasih atas sarannya ya ibu :)
BalasHapus