Selasa, 03 Februari 2015

Tampe Ruma Sani versi ubahan RIMA TIANA 2013070117

RIMA TIANA 2013070117

TAMPE RUMA SANI

Alkisah pada zaman dulu, tinggallah seorang anak perempuan bernama Tampe Ruma Sani. Semua orang di kampungnya mengenal dia, sebab setiap hari ia menjajakan ikan hasil tangkapan ayahnya. Ibunya sudah meninggal. Di rumahnya ia tinggal bersama ayah dan adik laki-lakinya yang masih kecil. Ia memasak nasi untuk ayah dan adiknya. Kasihan Tampe Ruma Sani yang masih kecil itu harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa.
Pada suatu hari, seorang janda menyapa Tampe Rurna Sani, “Sudah habis ikanmu Nak? Tiap hari saya lihat ikanmu cepat habis, apa rahasianya?”
“Saya menjual lebih murah dari yang lain, agar cepat habis, karena saya harus segera pulang menanak nasi untuk ayah dan adik saya. Juga pekerjaan rumah tangga yang lain harus saya kerjakan”, jawab Tampe Rurna Sani sambil berjalan cepat.
“Siapa nama adikmu?”
“Mahama Laga Ligo”, jawab Tampe Rurna Sani. “Mengapa bukan adikmu yang memasak?”
“Adikku masih kecil, belum bisa memasak.” Bermacam-macam pertanyaan janda itu kepada Tampe Ruma Sani.
“Sampaikan salamku kepada ayahmu! Aku mau membantu kalian dan tinggal di rumah ayahmu. Aku mau membuat tembe (sarung), sambolo (destar) dan ro sarowa (celana) untuk ayahmu”, kata janda itu dengan manis.
“Baik Bu, akan saya sampaikan kepada ayah.” Singkat cerita janda itu kini telah kawin dengan ayah mereka, dan menjadi ibu tirinya Kini Tampe Ruma Sani lidak lagi memasak. Pekerjaannya hanya menjajakan ikan saja. Sekali-sekali ikut menumbuk padi. Setiap menumbuk padi, ibunya selalu berpesan agar beras yang utuh dipisahkan dengan yang hancur.
Pada mulanya, ibu tirinya sangat baik kepada Tampe Ruma Sani dan adiknya. Namun, lama-kelamaan sikapnya berubah. Tampe Rurna Sani dan Mahama Laga Ligo mendapat perlakuan yang kurang baik, lebih-lebih kalau ayahnya tidak berada di rumah.
Pada suatu hari, ayahnya baru pulang menangkap ikan. Sang ibu tiri segera menyiapkan makanan yang enak-enak untuknya. Sedang untuk anak ttrinya disediakan nasi menir (nasi dari beras yang hancur kecil-kecil). Melihat hal itu, Tampe Ruma Sani memberanikan diri lapor kepada ayahnya, “Ayah dan ibu makan nasi yang bagus dan ikannya yang enak-enak, sedang saya dan adik nasinya kecil-kecil dan tidak ada ikannya”. Mendengar hal itu ayahnya bertanya, “Mengapa makanan anak-anak berbeda dengan makanan kita Bu?”
“Oo tidak Pak, sebenarnya sama saja, lihatlah sisa makanan yang ada di kepala Mahama Laga Ligo,” jawab istrinya.
Sebenarnya nasi yang ada di kepala Mahama Laga Ligo sengaja ditaruh oleh ibu tirinya menjelang ayahnya datang. Hal yang demikian telah dilakukan berkali-kali. Ibunya sangat marah kepada Tampe Ruma Sani yang berani melaporkan kepada ayahnya. Setelah suaminya pergi, sang ibu tiri menghajar Tarnpe Ruma Sani sampai babak belur. Tampe Ruma Sani menangis sejadi-jadinya. Melihat kakaknya dihajar, Mahama Laga Ligo pun ikut menangis.
“Kalau kalian berani melapor kepada ayahmu akan kubunuh kalian!” ancamnya.
Perlakuan kasar telah biasa diterima oleh kedua anak itu. Mereka tidak berani melaporkan kejadian itu kepada ayahnya, karena takut ancaman ibu tirinya
Kini kedua anak itu sudah besar dan menginjak dewasa. Kakak beradik itu bermaksud pergi meninggalkan orang tuanya untuk mencari nafkah sendiri, karena tidak tahan lagi menerima siksaan ibu tirinya. Maksud itu pun disampaikan kepada ayahnya, “Ayah, kami sekarang sudah besar, ingin pergi mencari pengalaman. Oleh karena itu, izinkanlah saya dan Mahama Laga Ligo pergi”.
“Mengapa engkau mau meninggalkan rumah ini? Tetaplah di sini. Rumah ini nanti akan sepi.” kafa ayahnya. Ibu tirinya segera menyahut, “Benar kata Tampe Ruma Sani. Dia kini sudah besar. Bersama adiknya tentu ingin mandiri. Maka sebaiknya ayah mengizinkan mereka pergi.” Ibu tirinya memang sudah tidak senang dengan anak-anak tirinya yang dirasa sangat mengganggu.
Akhirnya, ayahnya pun dengan berat mengizinkan, berkat desakan istrinya yang terus-menerus.
Pagi hari sesudah sholat subuh, kedua anak itu meninggalkan rumahnya. Ibu tirinya memberi bekal nasi dalam bungkusan. Ayahnya mengantarkan sampai ke batas desa.
Alkisah, kedua anak itu berjalan menyusuri hutan dan sungai. Sesekali mereka membicarakan ibu tirinya yang kejam. Sesekali juga membicarakan ayahnya yang kena pengaruh ibu tirinya. Setelah seharian berjalan, Mahama Laga Ligo merasa capai.
“Kak, saya capai dan lapar. Istirahat dulu ya Kak”, katanya dengan nada menghimbau.
“Bolehlah. Kita cari dulu tempat yang teduh, lalu kita makan bekal yang diberikan ibu tadi,” kata kakaknya. Ketika mau duduk dekat adiknya yang mulai membuka bekalnya, tercium bau kotoran.
“Pindah dulu, di sekitar sini ada kotoran, kata Tampe Ruma Sani, sambil mengamati di mana kotoran itu berada. Namun, di sekitar tempat itu bersih. Lalu ia duduk lagi dan meneruskan membuka bekal yang dipegang adiknya. Ketika bekal itu dibuka bau itu tercium lebih keras. Akhinya, tahulah sumber bau itu. Bau itu temyata berasal dari bekal yang dibawanya. Rupanya ibu tirinya sangat jahat, sehingga sampai hati memberi bekal yang dicampuri kotoran manusia. Lalu, bungkusan itu pun dibuang, dengan perasaan marah dan sedih.
Dengan mengikat perutnya kencang-kencang, kedua kakak beradik itu pun melanjutkan perjalanan. Setelah beberapa lama herjalan, dilihatnya sebuah rumah di tengah hutan. Kedua anak itu merasa senang. Segeralah keduanya menaiki tangga dan mengetuk pintu. Namun, setelah beberapa saat tidak terdengar jawaban. Diketuknya sekali lagi, tetap tiada jawaban. Lalu, keduanya mendorong pintu rumah itu sedikit demi sedikit. Ternyata pintu itu tidak dikunci. Dengan perlahan-lahan, ia memeriksa seluruh penjuru rumah, temyata rumah itu tidak ada penghuninya. Di sebuah sudut rumah itu ada tiga buah karung. Setelah diperiksa, ternyata karung itu berisi merica, cengkih, dan pala. Di atas meja tersedia makanan. Di sekitar rumah ditumbuhi rumput yang tinggi, yang tampak tidak pernah dijamah manusia maupun binatang.
“Mari kita duduk di dalam rumah menunggu pemiliknya” kata Tampe Ruma Sani kepada adiknya.
Mereka duduk-duduk. Tak berapa lama, karena kecapaian, mereka tertidur. Pada saat terbangun hari telah pagi. Penghuni rumah itu belum juga muncul. Makanan di atas meja masih tetap utuh. Mereka heran, makanan itu masih hangat. Karena kelaparan, makanan itu pun mereka makan sampai habis.
Tiga hari sudah mereka berada di rumah itu. Setiap mereka bangun pagi, makanan hangat telah tersedia. Mereka semakin terheran-heran, namun tidak mampu berpikir dari mana semuanya itu.
Untuk menjaga kemungkinan makanan tidak tersedia lagi, mereka bermaksud menjual rempah-rempah dalam karung itu. Pada hari keempat, Maharna Laga Ligo berkata kepada kakak perempuannya, “Kak, biarlah saya yang menjual rempah-rempah ini sedikit demi sedikit ke pasar. Sementara saya pergi, kakak di dalam rumah saja. Kalau ada orang datang, jangan sekali-sekali kakak membukakan pintu”.
“Baiklah, pergilah, tetapi jangan lama-lama”, jawab kakaknya.
-0-
Sambil menunggu adiknya, Tampe Ruma Sani duduk melamun di dalam rumah. Selain takut karena ia hanya sendiri di tengah hutan seperti ini, ia juga sedih, mengingat apa yang selama ini dilakukan oleh ibu tirinya terhadap dirinya dan Maharna Laga Ligo.
Beberapa meter dari rumah yang didiami Tampe Ruma Sani, ada seorang Raja muda yang sedang terluka parah. Saat itu ia sedang berburu. Memburu binatang buas adalah hobi sang raja tersebut. Tapi kali ini, seekor macan telah berhasil mencakar dadanya. Racun dari cakar macan, membuat sang raja lemas dan tidak berdaya. Ia terus berteriak meminta tolong. Namun nihil, tidak ada orang di sana. Saat itu, raja berburu dalam penyamaran, agar tidak ada musuh yang mengetahuinya sedang berada di luar kerajaan. Dan dia, tidak membawa satu prajuritpun.
Raja terus berjalan dan meminta tolong, namun ia justru tersesat kedalam hutan. Saat itu, ada sedikit perasaan lega di hati Raja ketika ia melihat ada sebuah rumah di sana. Dengan tubuh yang lemas, raja tersebut berjalan menuju rumah itu. mengetuknya dan berharap ada yang tinggal di dalam rumah itu. ia sangat butuh pertolongan.
Sedangkan di dalam, Tampe Ruma Sani sangat ketakutan. Ia takut, kalau itu adalah orang jahat yang ingin menculiknya. Ia duduk di pojok rumah dan berharap adiknya cepat pulang. sedangkan sang raja, duduk di depan pintu rumah. Ia sudah tidak mampu bergerak.
Akhirnya, Maharna Laga Ligo pulang juga ke rumah setelah berjualan di pasar.ia kaget saat melihat seseorang tengah duduk di depan rumah sambil meringis kesakitan. Dadanya terluka parah. Banyak darah keluar dari luka itu. Maharna Laga Ligo langsung membantu orang itu dan merangkulnya agar ia tidak jatuh.
“Kakak, ini aku Maharna Laga Ligo. Cepat bukakan pintu, ada orang yang sangat terluka parah disini ka.” Akhirnya Tampe Ruma Sani membukakan pintu. Ia sangat lega karena adiknya telah pulang. Namun Tampe Ruma Sani kaget ketika melihat Maharna Laga Ligo bersama seseorang yang sepertinya sudah terluka parah.
“Astaga!. Apakah orang yang meminta tolong tadi adalah orang ini?.” Ada sedikit penyesalan di wajah Tampe Ruma Sani.
“Aku melihatnya di depan pintu kak, dia sangat kesakitan.” Ucap Maharna Laga Ligo menjelaskan.
“Maafkan aku Tuan, aku kira kau orang jahat yang berpura-pura meminta tolong, lalu menculikku setelah aku membukakan pintu untukmu.” Tampe Ruma Sani dan Maharna Laga Ligo tidak tahu, bahwa orang yang bersamanya saat ini adalah seorang Raja.
Hari-hari telah berlalu, Tampe Ruma Sani dengan sabar menjaga dan merawat sang Raja. Bahkan hingga saat ini, dia dan adiknya tidak tahu bahwa Raja sedang dalam penyamaran. Tiap hari, Maharna Laga Ligo pergi ke pasar untuk menjual bahan makanan yang ada di rumah. Anehnya, meski setiap hari dijual, bahan-bahan makanan itu tidak pernah habis. Sedangkan Tampe Ruma Sani terus menjaga dan merawat sang Raja. Bahkan mereka terlihat semakin akrab. Tanpa segan, Tampe Ruma Sani menceritakan apa yang ia dan adiknya alami dari sejak ia kecil hingga mengapa ia berada di rumah ini. Mendengar cerita Tampe Ruma Sani, sang Raja sangat marah. Namun ia harus bisa menahan emosi. Sampai ia benar-benar sembuh, ia akan kembali ke kerajaan dan memberi pelajaran kepada ibu tiri Tampe Ruma Sani.
-0-
Hari ini, raja memutuskan untuk pulang. ia merasa sudah sehat dan lebih baik. Sang Raja sangat berterima kasih kepada Tampe Ruma Sani dan Maharna Laga Ligo. Setelah sampai di keraannya nanti, Raja bertekad untuk membicarakan masalah ini kepada perdana mentri dan memberikan hukuman yang pantas untuk ibu tiri mereka.
Dan hari ini, akhirnya kebenaran terungkap juga. Ayah dan ibu tiri Tampe Ruma Sani dan Maharna Laga Ligo dipanggil ke kerajaan untuk memberikan penjelasan.
“Saya sangat sayang kepada mereka berdua Raja, meskipun mereka adalah anak tiri saya.” Ibu tiri Tampe Ruma Sani dan Maharna Laga Ligo masih saja mengelak meski sudah di desak raja untuk jujur. Sedangkan sang ayah, hanya diam kebingungan.
“Kalau begitu, saya akan panggil Tampe Ruma Sani dan Maharna Laga Ligo ke ruang sidang istana untuk menjelaskan semuanya.” Kata sang Raja dengan tegas. Dan akhirnya, datanglah Tampe Ruma Sani dan Maharna Laga Ligo ke ruang sidang istana.
“Tampe Ruma Sani, jelaskan apa saja yang telah dilakukan ibu tirimu kepadamu dan adikmu selama ini?. Tidak perlu takut. Katakan dengan jujur.” Ucap raja.
Awalnya Tampe Ruma Sani ragu untuk menceritakan semuanya, karena ibu tirinya menatapnya dengan tajam. Namun ia juga lelah menghadapi ibu tirinya yang jahat itu, akhirnya ia menceritakan semuanya. Tentang ibunya yang selama ini memberikan ia dan adiknya makan dengan nasi menir dan tanpa lauk. Tentang ibunya yang selalu memukul dan berlaku kasar padanya dan adiknya. Tentang ibunya yang mengancam akan membunuh mereka jika berani mengadu kepada ayahnya. Tentang ibunya yang memberikan ia bekal yang dicampur dengan kotoran manusia. Dan masih banyak lagi. Ayah mereka sangat terkejut. Ia sangat kecewa dengan istrinya.
Setelah tahu semuanya, Raja memutuskan untuk memenjarakan ibu tiri Tampe Ruma Sani dan Maharna Laga Ligo. Ayahnya sangat marah kepada istrinya itu. Sedangkan Tampe Ruma Sani dan Maharna Laga Ligo terus meminta maaf kepada Raja karena tidak mengenalinya dalam penyamaran. Dan mengucap banyak terima kasih karena raja telah menyelamatkan hidupnya.
Akhirnya, Tampe Ruma Sani dan Maharna Laga Ligo pulang bersama ayahnya dengan bahagia. Dan mereka bertiga, hidup bahagia selamanya.

TAMAT

2 komentar:

  1. Cukup baik karena mampu menghubungkan dengan cerita di atasnya hanya saja kurang kejutan. Terus menulis!

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas sarannya ya ibu :)

    BalasHapus